Thursday, March 03, 2011

Cerita Jakarta


dapet di email.. hueheue

Dialog absurd di tengah kota Jakarta . Gak tahu kisah nyata atau bukan.. Yang pasti semua ceritanya bersumber dari kiriman email pembaca setia.
Asli buat ngakak..kalo kamu gak ngakak berarti mungkin kamu salah satu objek dalam cerita nguping Jakarta . hahaha...


Duh, bikin puswing kamu!

Cheerleader #1: (menyanyi sendiri) "Swing, swing, swing, swing..."
Cheerleader #2:
"Lho itu lagu bukannya kata-katanya 'Dreams' ya?"
Cheerleader #1:
"Oh iyah, yah? Kalo 'Swing' itu yang ada di Softex ya?"

SMA ternama Jakarta, didengar oleh pelatih yang merasa gagal mendidik.


Saya baru bisa keluar 3 tahun lagi...

Bapak pengemudi bayar parkir: "Kok loketnya dikasih kerangkeng sih mbak?"
Petugas parkir:
"Biar saya nggak kabur..."

Sebuah mall di BSD, didengar oleh keponakan yang mengurungkan niatnya untuk bekerja di Jakarta .


Bis sekarang teladan...

Cewe baru belajar nyetir: "Gua itu paling males nyetir di belakang bis, tau sendiri kan bis suka ontime nunggu penumpang... "

Kelapa Gading, didengar oleh saudara yang malas menjelaskan perbedaan besar "ontime" dan "ngetem".


Ini salah jari atau otak ya?

Lelaki sibuk di handphone: "Halo X, gua telepon ke nomor satunya ya (tutup) Halo... (mulai ngomong panjang lebar)... Lho? Ini siapa? Oh sorry, salah sambung! (memencet nomor lagi) Halo Y, loe gimana sih, ngasih nomer X ke gua kok salah sih! Gimana sih loe? (diam sesaat) Lho? Ini bukan Y ya? Sorry salah sambung..."

Bank Swasta Pondok Indah, didengar oleh istri yang langsung tambah asik membaca email di BlackBerry-nya.


Itu beda lho...

Pengunjung: "Mbak, Coke-nya satu ya, pake es..."
Pelayan:
"Maaf Mbak, Coke-nya gak ada, adanya Diet Coke."
Pengunjung:
(Menunjuk menu) "Terus ini apa, Coca-Cola... Kok dibilang gak ada?"
Pelayan:
"Kalau Coca-Cola ada, Mbak..."
Pengunjung:
"Huh!"

Cafe di FX, didengar oleh satu meja yang bersepakat menyuruh pelayan training ulang.


Wah, udah lama gak merhatiin dia...

Ibu mengejek anak kecil bersepeda: "Ih, lihat tuh, badan segede gitu kok masa naik sepeda sekecil itu, hahaha... (sesaat kemudian)... Lah, itu anakku!"

Perumahan di Jakarta, didengar oleh teman yang langsung terbahak-bahak.


Ya namanya juga bajakan...

Saat nonton DVD,
Calon mahasiswa S1 FasilKom:
"Oi itu jangan lupa kemsyen-nya. ."
Teman #1:
"Kemsyen apaan sih?"
Calon mahasiswa S1 FasilKom:
"Itu kemsyen... kemsyen, masa gitu aja ga tau sih?"
Teman #2:
(mencari fasilitas "kemsyen" di menu) "Gak ada ah..."
Calon mahasiswa S1 FasilKom:
"Itu lho, kemsyen en subtitiles.. ."

Apartemen daerah Kemanggisan, didengar oleh semua teman yang ingin mengumpulkan dana buat les bahasa inggris.


AC/DC gityuuu looooh...

Ketua Panitia: "Naahh.. pin yang ini desainnya bagus nih. Bisa buat cewek dan cowok. Biseks gitu!"

Rapat Buka Bersama, didengar oleh sepasukan panitia yang merasa si ketua terlalu banyak nonton porno.


Yang enak tuh lambaaaat dan merata.

Dua cewe sedang berbagi resep,
Cewe #1:
"Emang kalo cepet-cepet jadinya gak enak, ya?"
Cewe #2:
"Iya, ngocoknya mesti rata makanya."

Didengar oleh seseorang yang langsung berharap jadi adonan.


Buah simalakama.. .

Ibu pengemudi yang tiba-tiba panik: "De, pegangin setirnya. Mama mau garuk pantat!"
Anak laki-laki berusia 18 tahun:
"Ah, Mama! Gak mau ah!"
Ibu pengemudi yang tiba-tiba panik:
"Kamu mendingan megangin setir apa garukin pantat Mama?"

Tol Jagorawi, didengar anak perempuan di belakang yang ingin melompat keluar mobil.

Maksudnya dia suka aku, Ma?
Seorang ibu kepada anaknya: "Sst! Jangan nangis! Ntar kamu ditembak pak satpam lho!"

Pertokoan di Jakarta, didengar oleh seseorang yang percaya kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.

Lengkap banget deh...
Pelayan: "Minumnya, mbak?"
Teman #1:
"Teh tawar anget"
Teman #2:
"Saya... Teh manis anget"
Pelayan:
"Hot tea... dan sweet ice tea hot" (tampang pede dan nyatet)

Sebuah resto di Plasa Senayan, didengar oleh 2 orang teman yang mesem-mesem dan segera membenarkan ucapan pelayan tersebut.


Untung dia bukan penjaga Quality Control...

Anak kecil di telepon: "Halo... oh mas X sialan!... iya, dia kan penyial...

Didengar oleh seseorang yang hampir membanting handphone-nya.


Jadi selama ini masih ada yang lain?

Ibu menasehati anak perempuan semata wayang: "Nduk, waktu ibu punya anak perempuan seusiamu..."

Didengar oleh kakak lelaki yang langsung berpikir apakah dia punya saudara kandung lain..


Sehat bener ya, jaringannya. ..

Programmer 1: "Kemaren internet gua udah onlen, cuy"
Programmer 2: "Wah selamat-selamat, download pelm lah kita, gak perlu nonton serial di tipi!"
Coordinator: " Gaya bener lo pada, mentang-mentang udah pada pasang internet bearbrand... "

Sebuah warung makan, didengar oleh teman-teman yang langsung bergulingan.


Emangnya gua badak?

Cewe mau ikut kursus: "Mbak, kalo disini ada kelas conservation gak?"

Didengar oleh Student Advisor yang berasa di LSM.


Saya menghormati sejarah...

Account Executive: "Baik, kalau begitu kita meeting lagi Senin tanggal 20..."
Klien Besar:
"Tanggal 20 itu hari Sabtu. Kita meeting Senin tanggal 22."
Account Executive:
"Tapi tanggal 22 itu hari Rabu. (diam sesaat) Ups, my mistake, ini kalender tahun lalu."

Didengar oleh semua kolega yang ingin membungkus AE itu dan mengirimnya ke Timbuktu .


I'm not worthy, I'm not worthy...

Klien Besar: "Ya sudah, besok kita meeting lagi ya...."
Account Executive:
"Wah, bu, besok tidak bisa, kami ada janji dengan klien lain."
Klien Besar:
(memandang sinis) "I am not your client... I am your god."

Perkantoran di Gatot Subroto, didengar oleh seluruh tim agensi yang langsung menyatu dengan kursi masing-masing.

Kami perlu yang representatif. ..
Brand Manager: "Hmmm, bagus, visual-nya bagus. Sayang copywriternya jelek."
Copywriter:
"MAKSUD LOE?"

Didengar oleh Creative Director yang langsung menawarkan mengganti copywriter sambil terbahak.


Yang pasti bisa buat nyelem...

Lelaki di toko kacamata: "Yang itu dong, Mbak... Liat...."
Pramuniaga:
"Nah yang ini keren, Mas... Bahannya juga bagus, Titanic..."

Optik di Mangga Dua, didengar oleh pengunjung yang ingin mendorong pramuniaga ke laut.

Makanannya seru deh!
Cowo: "Kemaren gua sama cewe gua buka puasa di PS 2..."

Didengar oleh semua teman yang merasa cowo itu terlalu banyak main game.


Jaman susah sih....

Pada saat telepon gratis dua detik pertama,
Cowo Hemat:
"Kamu dimana? (tutup) Apa? (tutup) Pulang... (tutup) PULANG! (tutup) Aku bilang kamu pula... Ah, goblok lebih dari dua detik!" (tutup)

Didengar oleh teman yang ingin merebut dan merebus handphone itu.


Jangan terlalu mateng ya!

Pria duduk dan langsung berteriak memesan: "Mas, Ovaltine bakar satu!"

Warung Tenda Jakarta, didengar oleh seseorang yang hampir jatuh dari kursinya.


Yang horisontal kalau bisa!

Di sebuah restoran,
Teman #1:
"Eh udahan yuk, kite cabs.."
Teman #2:
"Gua aja yang panggilin.. Mas! Billboardnya ya!

Restoran di Jakarta, didengar oleh banyak orang yang merasa kasihan dengan pelayannya


Menurut sejarah, gak baik loncat-loncat. ..

Ditengah sebuah konser,
Wanita Bingung:
"Waduh... Minggir, minggir, kacamata saya jatuh... Awas jangan diinjak!"
Lelaki Baik:
"Kenapa mbak, kenapa?"
Wanita Bingung:
"Ini mas, kacamata saya jatuh, duh gimana ya?"
Lelaki Baik:
"Sini saya bantu cariin. Wah si mbak nih, makanya lompatnya pelan-pelan, jangan terlalu histori..."
Wanita Bingung:
"Histori?"

Senayan, didengar oleh penonton lain yang tiba-tiba tidak bisa loncat lagi.


Kalo nyapa yang bener dong... HUH!

Penjaga Toko: "Silahkan kak, Giordano..."
Lelaki Gemulai Nan Jutek:
(Menatap sinis) "Sorry! Nama gua bukan Giordano!"

EX, didengar oleh teman-temannya yang langsung berteriak "Apaan sih tcooooong!"


Ini yang salah ngerti siapa ya?

Pria: "Mbak, pesen es teh manis..."
Pelayan:
"Es-nya habis mas..."
Pria:
"Ya udah, es teh tawar..."
Pelayan:
"Iya, mas..."

Restoran di Jakarta, didengar oleh pengunjung lain yang berpikir cara buat es...


Ternyata bukan dongeng anak...

Istri: "Itu loh, yang badannya pendek-pendek. .."
Suami:
"Apaan?"
Istri:
"Yang tokoh fairy tale..."
Suami:
"Ha, yang mana sih?"
Istri:
"Yang punya jenggot..."
Suami:
"Yang mana sih...?"
Istri:
"Itu lho, yang Snow White dan 7 Mucikari!"

Didengar oleh teman yang hampir berguling-guling.


Maksud gua buat naruh barang!

Mahasiswa S2 mengomel: "Heran gua, hotel sebesar ini gak ada ballroom-nya! "
Teman:
"Emang loe mau ngapain, resepsi?"
Mahasiswa S2:
"Mau minta koper gua dibawain ke kamar nih!"
Teman:
"Bellboy kaleeeee!"

Hotel bintang lima di Kebon Sirih, didengar oleh semua teman gaulnya yang memaklumi mahasiswa yang baru saja tidak lulus TOEFL.


Eh tapi asik kali yeee...

Anak SMP #1: "Setdah, masa tadi kelasan gua selang-seling gitu duduknya..."
Anak SMP #2:
"Ya elah, kesian bet kelas luh!"
Anak SMP #1:
"Iye, ntar bukannye belajar, malah pade bercinta!"

Angkot di pinggiran Jakarta, didengar oleh penumpang yang menuduh sinetron sebagai sumber kebodohan bangsa.


Gak usah pake mangkok aja!

Nyonya: "Mbak, tolong beliin bakso di ujung jalan sana ya, beli empat bungkus, dua campur pake mie, dua baksonya aja..."
PRT Baru:
"Yang baksonya aja pake kuah gak, bu?"

Jakarta , didengar oleh seseorang yang tertawa gila-gilaan.


Dulu di percetakan ya, mas?

Penjaga Parkir: "Wah mas, stiker parkir langganannya udah exemplar nih, besok diperpanjang ya."

Perkantoran Sudirman, didengar oleh pengemudi yang akhirnya sadar ada tulisan EXP di stikernya.


Pengetahuanmu luas, nak...

Mahasiswa #1: "Eh, lo demen Mocca gak?"
Mahasiswa #2: (berpikir sebentar) "Halal gak?"
Mahasiswa #1: "Ya elah, bukan mocca minuman, tapi Mocca band!"
Mahasiswa #2: (dengan begitu PD) "Ah, kalo band-band luar negeri gitu gua nggak demen..."

Jakarta , didengar oleh seseorang yang memejamkan mata dan berteriak dalam hati.

Belum, lagi jelek koneksinya.
Researcher: "Eh pensil gua kemana ya?"
Researcher Khusyuk Internetan:
"Kenapa loe?"
Researcher:
"Pensil gua ilang! Loe tau gak dimana? Udah gua cari kemana-mana nih! Mana sih ya?
Researcher Khusyuk Internetan:
"Udah loe cari di google belum?"

R&D Jakarta, didengar oleh satu divisi yang merasa salah satu dari mereka kena penyakit internetan akut.


Kalo bisa yang triple L!

Ibu #1: "Saya yang well-done ya."
Pelayan:
"Baik, bu. (Ke ibu lainnya) Ibu steaknya mau gimana?"
Ibu #2:
"Maksudnya mas?"
Pelayan:
"Mau yang medium atau..."
Ibu #2:
(Memotong dengan mantap) "Ooooh, saya yang large aja, mas!"

Restoran Steak di Jakarta Selatan, didengar oleh ibu lain yang merasa harus membenahi make-up tiba-tiba.


Makanya perhatian dong!

Si Pemimpi: "Gua pengen bikin bagasi gua jadi home theater deh.."
Si Serius:
"Hah, gimana caranya?"
Si Pemimpi:
"Ya nanti gua mau tambahin (mulai penjelasan teknis)."
Si Serius:
"Home theater portabel gitu?"
Si Pemimpi:
"Ya nggak lah, gimana caranya loe bawa-bawa bagasi?"
Si Serius:
"Ya ditenteng gitu? Eh, maksud loe bagasi apa nih?"
Si Pemimpi:
"Ya itulah! Yang tempat parkir mobil... Masa loe gak tau sih?"
Si Serius:
"Euh, itu kayaknya garasi kali!"

Reuni alumni di Jakarta, didengar oleh seseorang yang langsung harus ke kamar kecil.


Ah, jangan buka rahasia dong...

Tukang Sate: "Masnya apa nih?"
Mahasiswa Tegas:
"Gua kambing! (ke temannya) Loe?"
Mahasiswa gemulai:
"Aku ayam..."

Pondok Sate di Jakarta Barat, didengar oleh mahasiswi yang merasa mendengar pengakuan.


Yang penting kan tata krama!

Pembeli Santun ke Penjual Sop Kaki: "Daging tiga sama kaki dua, udah itu aja. Eh, kakinya yang kanan ya!" (Semua pengunjung tertegun)
Penjual Sop Kaki:
"Mmmm, kenapa harus yang kanan, Pak?"
Pembeli Santun:
"Yaaa, biar lebih sopan aja... Kakinya yang kanan gituuu!"

Tenda Sop Kaki Kambing di Tebet, didengar semua pengunjung yang hampir tersedak.


Otomatis ya, mbak?

Kasir: "Mau order apa, mas?"
Pembeli:
"Coca-Cola large satu, sama french fries satu... Itu aja, mbak."
Kasir:
"Oke, saya ulang ya, Coca-Cola large satu, french fries large satu. Mau tambah kentang gorengnya, mas?"

Restoran fastfood di Jakarta, didengar oleh pembeli yang merasa dicekokin.


Abis Bapak selalu pengen gabungin semua alternatif sih!

Account Director ke klien: "Tapi pak hal itu sulat dilakukan! (hening) Euh, saya mau milih antara sulit dan sukar malah keluar dua-duanya."

Kantor di Gatot Subroto, didengar oleh kolega yang diam-diam melipir.


Ini pasti artinya tentang teknologi...

Webmaster: "Gile, website bikinan orang-orang latin keren banget yah!"
Webdesigner:
"Hah, tau dari mana loe itu buatan orang latin?"
Webmaster:
"Itu ada tulisannya: Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit..."

Sebuah kantor di Palmerah, didengar oleh webdeveloper yang langsung ngakak tak terkendali.


Saya kan gak pernah ngerti dunia itu!

Pejabat: "Selamat sore, hari ini adalah hari yang bahagia karena kita menjadi tuan rumah untuk event internasional yaitu Festival Seni Koremponter. ..."
(Seluruh hadirin tertawa)
Pejabat:
"Maksud saya Korentomper. .."
Tamu Gemas:
"Kontemporer, pak!"
Pejabat:
"Ya harap maklum, saya kan bukan seniman!"

Galeri Nasional Jakarta, didengar oleh hadirin yang langsung mengeluarkan palu dan pahat.


Ini tindak lanjut yang penuh cinta!

Reporter: "Pak, bagaimana perkembangan kasus korupsi X, apakah ada tindak lanjut dari instansi bapak, seperti pemberian sanksi ?"
Pejabat:
"Sejauh ini masih kita pantau dulu, hal ini sedang dibicarakan bagaimana2nya"
Reporter:
"Apakah justru ini melibatkan orang dalam pak?"
Pejabat:
"Loh, anda tidak boleh sembarangan begitu... Kita harus lihat situasi ini kiss per kiss nya..."
Reporter:
"Maksud bapak case by case ?"
Pejabat:
(malu) "Iyalah gitu."

Kantor Kepemerintahan, didengar oleh kameraman yang menutup mulutnya takut dicium....


Kan
lulusan S3 Ilmu Angkotan!
Pengendara Motor Gak Sabar: "Maju dong! Dasar Bego!"
Supir Angkot Intelektual:
"Kalo gua bego, gua gak bakal jadi supir angkot tau!"

Di bawah flyover Depok, didengar oleh penumpang angkot yang tiba-tiba mempertanyakan pendidikan yang dia jalani selama ini.


Gak mau tawar aja?

Mahasiswa Genit ke penjual kantin yang cantik: "Mau es teh... manis.."

Kantin kampus Jakarta, didengar oleh teman yang tiba-tiba sok belajar buat UAS.


Si Pitung ada gak, Beh?

Penonton Berisik: "Naaah, nyang itu no Neo namenye, si Neo, Neo..."
Adegan di Layar:
"Hello, Mr. Anderson..."
Penonton Berisik:
""Eh bukan ding, bukan Neo... itu Mr. Anderson namanya!"

Bioskop pinggiran Jakarta Timur, didengar oleh penonton di depan yang memilih antara tertawa atau melempar popcorn.

Wednesday, March 02, 2011

PNS dan PMS

beberapa minggu ini shill sedang menerima tekanan kanan-kiri buat maksa agar shill masuk pembukaan pns tahun ini.. duhh gimana juga ngejelasinnya.....

shill ga tertarik sama sekali......, buat apa 10 tahun lebih tamat kuliah ga juga tertarik ikutan.... begitu2an.... ini yang terakhir buat shill seiring kadaluarsanya umur hehehehehe

Dengan iming2 gaji yang lebih mendingan .. jaminan kesehatan dan pensiun huhuhuhu pemanis yang selalu sering di jejalin ke telinga ku........ justru hal tersebut yang membuatku malas berlama2 jika terlibat pembicaraan dengan siapapun....

duhhh PNS dah jadi PMS .. huehuehue Pembicaraan Memuakkan Shill......

shill dah ngerasa.. apa yang sekarang dijalanin dah jalan hidup yang kupilih..... dengan segala resikonya adalah yang terbaik...., ga mungkin merubah haluan di tengah lautan yang tenang dan tanpa alesan yang menyatakan tujuanku salah.....

yang shill paling dirasain adalah keinginan untuk pesiun dan ingin menjadi petani selekasnya... itu cita2 shill sesungguhnya......, shill pengen punya kebun dan sawah sendiri....plus kolam ikan.. hehehehe... saat itulah kedamaian hidup yang sebenarnya ...




*dari kumpulan blog shill. dalam rangka pengumpulan tulisan yang terserpih.... pernah ditulis di blog selaksapelangi

Nafsuku.. Makanku..


Kejadian semalem sama persis dengan waktu bulan puasa kemaren... hanya waktu ama tempat aja yang beda.........

Setelah sebelumnya dendam kesumat pengen makan.. makan suatu makanan yang paling enak.. se-enak-enaknya yang bisa melepas selera setelah penat seharian...keinginan dah mengebu2, sampe sepanjang jalanpun ngebayangin apa yang bakal menyenangkan buat nyumpal perut ini huehuehue... kebayang juga hal sama diwaktu waktu puasa dulu. keinginan yang sama ... setelah seharian badan cape setelah terus menerus dibawa kerja keras dan akhirnya semua bisa selesai.. jadi seolah pengen ngerayain sesuatu di hari ini......

Semalem..... abis seharian badan kayak di gotong sana-sini.. kata pepatah kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala.. huehue sampe segitunya berjuang buat melanjutkan idup ini huehheuhue.........

Abis dua jam setengah perjalanan sampe pulang kerumah .. ga sabar langsung melesat ke tempat jajanan .. wewwww.. dah jam 00.10.. masih rame aja...., Dengan semangat 45 shill masuk ke Nasi Sumsum..., sambil senyum2 nunggu bakaran ..... ngeliat ke kanan .... dan deghhhhhhhhhhhh kaya ketampar ama back hoe.... hehueheuhe tanpa sengaja mata shill tertumbuk pada sesosok tubuh renta sambil menenteng karung plastik besar...... yang dengan lincah mengais-ngais tempat sampah.. mencari plastik atau kerdus yang bisa di kumpulkan lalu lagi dijual ke lapak2.... huhuhuhuhu.. nafsu makan yang tadinya begitu besar dah berkurang drastis sampe separuhnya.... nengok lagi ke kiri... ada anak kecil usia 10 tahunan... sedang menggendong anak kecil yang lelap di gendongannya huhuhhuhu.. tangan si anak ga lepas dari kecrekan dan mulutnya komat-kamit melantunkan lagu yang ga jelas lagu apa heuhuehue... lebih mirip gerengan anak yang menangis hiks hiks hiks...

Deghhh........... ilang selera............, masakah shill menikmati ini... memuaskan selera tapi di sekitar shill ada yang hal lain yang langsung melempar shill dalemmmmmmmmmmmmm...

Alhasil ... shill ga jadi makan.... pesenan barusan buat mereka aja..... langsung pulang n bubu. huhuhuhu.. tadi pagi bangun... berasa laferrrrrrrrrr kekekekeke.., ya terang aja.. dari kemaren siang ga dijenguk ama makanan hhuehuehue.......


*dari kumpulan blog shill. dalam rangka pengumpulan tulisan yang terserpih.... pernah ditulis di blog selaksapelangi

(Tiap Hari) Punya Hati




Hatiku adalah ruang bening
Kubiarkan menjadi kanvas kosong
Dibelakang ada perjalanan sunyi
Jejaknya sudah tertutup kabut dan kering
Tahan dulu pernyataan ingin pamit
Telah berdamai hatiku oleh nada kasih setia
Ketika badan binasa jiwa tak menyerta

Ada gerimis jatuh di nisanku....





Tuesday, March 01, 2011

Ajeng: Gadis Kecil dalam Hujan


Kemarin sejak pagi hujan turun dengan derasnya seolah tak mau berhenti mencurahkan seluruh airnya ke bumi. Sore hari ketika hujan mulai reda, ada sesosok makhluk mungil berdiri di depan rumahku. Tubuhnya yang kurus basah dan menggigil kedinginan.

Aku tak tahu apa maksud kedatangannya ketika kemudian samar-samar aku mendengar lirih suaranya yang bernyanyi entah lagu apa, sambil menepuk-nepukkan tangan untuk mengiringi nyanyiannya. Tuhan, anak itu sedang mengamen, ditengah cuaca yang tidak bersahabat seperti ini. Kutaksir usianya sepantar dengan anakku yang nomor enam, sekitar lima tahunan.

“Nama kamu siapa?”, tanyaku.

Malu-malu ia menjawab, lagi-lagi dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Ajeng, Tante...”

“Ajeng, kamu udah sekolah ? Kelas berapa ?” tanyaku lagi.

“Kelas satu, tante”.

“Rumah kamu di mana ?”

“Di komplek belakang,”

Dia hanya setahun lebih tua dari anak bungsuku.

Kubuatkan segelas teh manis hangat untuknya. Kusuguhkan pisang goreng yang baru saja aku angkat dari penggorengan.

“Cepat diminum, biar badan kamu hangat. Nanti kamu sakit,” ujarku.

Tanpa banyak kata dia menurut. Sekali teguk teh manis itu tandas seketika. Disambung dengan gerakan tangannya yang gesit meraih sepotong pisang goreng dan menggigitnya pelan-pelan. Menikmati setiap gigitan demi gigitan. Hmmm...

“Baju kamu basah, kita ganti baju yuk”, ajakku ketika kulihat ia sudah menghabiskan potongan terakhir pisang goreng yang ada di tangannya. Cepat aku pilih baju si bungsu dari dalam lemari. Baju yang kira-kira masih pantas diberikan kepadanya. Aku buka pakaiannya dan kuganti dengan pakaian yang kering.

Setelah itu mengalirlah cerita dari mulut mungilnya.

Dia selalu mengamen setiap pulang sekolah, putar-putar di komplekku sampai maghrib kemudian pulang. Dia melakukan itu semua karena bapaknya sakit asma akut, ibunya bekerja sebagai pembantu di komplekku juga. Setiap Maghrib ajeng akan datang menjemput ibunya di rumah majikannya dan mereka pulang ke rumah.

“Sehari kamu dapat berapa, Jeng ?”, tanyaku penasaran.

“Kadang nyampe lima ribu, Tante. Uangnya buat ajeng sekolah, sisanya Ajeng kasih ke ibu.” Sahutnya polos.

Aku hanya bisa memandangi Ajeng menghabiskan lagi sepotong pisang goreng. Anak-anakku ribut mengajak Ajeng mengobrol, khas anak-anak. Kelihatannya Ajeng pun senang.

Ketika Maghrib tiba, aku antar ia menjemput ibunya. Kumasukkan sisa pisang goreng ke dalam kantung plastik dan kuberikan kepada Ajeng untuk dibawa pulang. Tak lupa kuselipkan selembar sepuluhribuan ketangannya. Satu-satunya lembaran uang yang tersisa dalam kantung bajuku.

Ibunya berkali-kali mengucapkan terima kasih ketika aku ada di hadapannya. Aku hanya tersenyum jengah. Tak lupa kuminta alamat rumah mereka, siapa tahu kelak suatu saat aku bisa mengunjungi keluarga mereka.

Akhirnya, ditengah udara yang begitu dingin sisa hujan sore tadi, aku melangkah pulang ke rumah dengan perasaan yang nyaris tak bisa kugambarkan. Sedih dan haru berkecamuk menjadi satu dalam rongga dada.

Ajeng..

Dia hanya setahun lebih tua dari anak bungsuku. Namun keadaan memaksanya melakukan sesuatu yang belum pantas ia kerjakan. Berjuang untuk membiayai sekolahnya sendiri, mengumpulkan receh demi receh yang ia dapat dari hasil mengamen.

Sementara itu, berapa banyak yang dihabiskan oleh anak-anakku hanya untuk jajan ? untuk membeli mainan yang sekali pakai langsung dibuang ? untuk membeli chiki, permen, atau makanan-makanan berpengawet lainnya ?

Tak terasa, aku jadi ingin menangis. Aku malu... aku jadi ingat banyak waktuku yang terbuang percuma hanya untuk melakukan sesuatu yang tak penting. Berapa banyak kita yang menghabiskan waktu setiap hari untuk hal-hal sepele yang seringkali tak penting itu ? main game, chating, fesbukan, shopping tak kenal waktu ? hangin’ out dengan teman-teman dan menghabiskan berlembar-lembar ratusan ribu hanya dalam waktu sekejap ? Sementara, Ajeng dan ibunya harus berjuang untuk mengumpulkan setiap rupiah yang mereka terima yang bahkan terkadang tak cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan paling dasar mereka. Betapa tak berartinya selembar uang ribuan lusuh yang ada pada kita sementara mereka meraihnya dengan penuh syukur.

Aku jadi teringat anak-anakku dan betapa beruntungnya mereka. Masih punya rumah untuk berlindung, punya pakaian bersih, mainan yang cukup, makanan yang sehat dan bergizi (meski tak selalu mewah), punya kakek, nenek, serta saudara-saudara yang mengasihi dan memanjakan mereka.

Berapa banyak anak-anak lain seperti Ajeng ?

Maka, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan ?

Tuhan, Maafkan aku.....


pecanduhujan

Hubungan Antara Pendidikan Dan Pekerjaan di Indonesia

Seorang pemuda baru lulus dari SMU. Karena tidak punya biaya akhirnya dia memutuskan untuk bekerja. Oleh karena itu dia mendatangi pamannya yang salah seorang pengurus partai politik untuk dicarikan kerja.

"Paman, tolong carikan saya pekerjaan dong" pinta pemuda itu.

"Wah lulusan SMU ya. Kalo gitu kamu jadi pegurus partai aja." Kata pamannya.

"Enak jadi pengurus partai, nanti kamu bisa jadi anggota DPR, trus jadi ketua DPR/MPR, bahkan jadi wakil presiden atau presiden sekalipun juga bisa" tambah pamannya semangat.

"Wah paman saya gak mau muluk-muluk, saya minta yang sederhana aja, kaya guru SD misalnya" jawab pemuda itu.

Pamannya berfikir sebentar kemudian berkata "Maaf kalo jadi guru SD kamu harus sarjana"

Monday, February 28, 2011

Karena Hujan


ku kecup hujan malam ini
tanpa ada percakapan
hanya gerimisnya...
lewat tetesnya kita bicara...

Satu-satu teman yang dulu terpanggil kembali bersisian
Tak rela melepas semua mimpi...
ingin kupinjam warna-warni pelangi
akan kuberi indahnya padamu

Ku rindukan hadirmu yang selalu membasuh pedih
Sungguh kau tak terganti
Bilakah kau kembali?
kenanganku akan dirimu yang s’lalu memanggil bahagiaku
izinku berbagi denganmu




Friday, February 25, 2011

Hujan Jangan Marah















Lihatlah Aku Pucat Pasi
Sembilu* Hisapi Jemari
Setiap Kupeluk dan Menangisi
Hijau Pucatnya Cemaraaa
Yang Sedih Aku Letih

Dengarkah Jantungku Menyerah
Terbelah di Tanah yang Merah
Gelisah dan Hanya Suka Bertanya
Pada Musim Kering
haaa aaa
Melemah dan Melemah

Hujaaaaaan...Hujaaaaaan...Jangan Maraaaaaahh
Melemah dan Melemah
Hujaaaaaan...Hujaaaaaan...Jangan Maraaaaaahh

ERK......



Thursday, February 24, 2011

Dimana alamat mu?


Jika aku bertemu dengannya, aku ingin waktu berhenti
karena aku tak ingin berpisah dengan kata

Setiap hari kuhanya bisa berkata pada hati
Besok mungkin dapat kuluangkan waktu lagi


Tuk menulis tentang hati…Dalam sebentuk ukiran kata

Rasa ini seperti gerimis. Menghadirkan sejuk yang membuat jiwa basah oleh bahagia
gerimis yang tak merindukan danau….
air mata mengalir membuat telaga ....
tak bisa menangis…
hanya dpt membasahi baju…

Biarkan aku dengan jalan ini, agar tak ada sesal yang mengekor di belakang hari
Tak lelah ditebas mimpi semu, tak hilang disembunyikan langit hitam.
aku tak pernah lelah mencipta rindu untuknya
Yang kuharap malam ini hanya tenangnya.
Yang kuinginkan saat ini hanya damainya.
Yang kupinta detik ini hanya bahagianya.

Mengalirlah restu Tuhan untuk mimpinya, malam ini.
Seribu jejak yang kupijak. Seribu garis yang kugores.
Membawaku ke dalam negerinya.

Seperti buku usang di atas meja.
Di antara gudang dan rumah tua.
Di antara waktu dan asa.
Tertiup angin, tak sengaja terbuka.
Tertinggal, dan tak terbaca…



Di mana kau alamatkan rumah hatimu? Agar aku tak salah berlari




Wow Surprise…


Hey..what a surprise

Sore tadi seperti biasa pada perjalanan senja, gadget penyerentara serbabisaku berbunyi tingtongtingtong.. hmm ada email masuk..... inbox terbuka kemudian, melihat-lihat apakah ada email penting atau hanya spam dari beberapa milis yang kuikuti.... termasuk mencek spam-spam yang masuk. Ternyata dari perempuan hujan... tumben

sejak jumat minggu lalu terakhir berinteraksi lalu pamit masing2 kembali ke habitatnya .. wewww, sabtu- minggu berlalu ... walau kadang ada keengganan melaluinya tanpa sekedar berceloteh dengannya ...

Melewati senin dan selasa lalu rabu hingga kamis ini .... mau menyapa duluan... takut sibuk... diintip.. kok rumahnya juga anteng.. ga ada perubahan, mudah2an bener2 karena sibuk ... bukan hal lainnya..

Ada yang hilang di hari2 kemarin...., dicoba mencari kesibukan.. dapetnya malah bernostalgia dengan sepultura dkk.... wewwww.., kalau saja punya alamatmu.. mungkin sudah kukirim telegram hihiii "cepat pulang Nak.. ayah mau menikah lagi.....!! (lhoo)

Syukurlah membaca email tadi.. dirimu baik2 saja...., walau ternyata gadget penyerentaramu yang tidak ... :turutberduka: :norose:

semoga amal ibadah gadget itu selama menyertaimu dapat diberkatiNya...

Dengan kabar tadi... terasa sebagian beban hilang..... kok jadi khawatir terhadap dirimu?? padahal aku tahu perempuan hujan adalah wanita yang tangguh.... (atau berusaha terlihat tangguh?? :P)


Going coming thought I heard a knock
Who's there no one
Thinking that I deserve it
Now I realize that I really didn't know
If you didn't notice you mean everything
All I know is I'm gonna be OK


If I'm dreaming don't wanna laugh




"Senyum perempuan hujan kita hari ini bahkan lebih indah dari pelangi.”






Hardcore


Gak kerasa... beberapa hari belakangan kegandrungan lagi ama sepultura dkk, dapet lagi warna2 hidup yang dulu pernah dilalui kadang membawa kebahagiaan tersendiri..., seperti pas denger home sweet home - motley crue, jadi inget waktu nyasar2 keliling ranah minang pake carry rentalan punya wawa...,
Pertama kali merantau sampe padang.. langsung melakukan survey.. wewww.. keliling sumbar 2 hari 2 malam plus nyasar..
Denger musik (suara drum) yang bunyinya kaya helikopter.. wiww bikin merinding...
dari pagi sampai pagi lagi.... playlist di pemutar musik melulu deathcore.. sampe bener2 berasa mau muntah..... (beneran) tapi dipikir2... mualnya karena masuk angin .. weewww pekerja senja

see ya keep rockin' \m/!

Monday, February 21, 2011

Sahabat Hujan*


Kalau ada yang ga suka sama hujan
Itu semata2 karena dia ga bawa payung untuk melindungi bawaannya
Atau dia lagi sakit dan harus menerabas tanpa sempat berteduh
Tapi hujan ga bermaksud begitu
Hujan datang untuk membawa kabar gembira


Melembutkan dalam rintiknya
Menceriakan ketika be-rinai
Menundukkan hati dengan gemuruhnya
Dan hujan membawa kenangan
Tentang cinta, cita, suka dan duka
Maka jangan pertanyakan kalau hujan selalu ada di sini..... :):)...

*makasih, untuk sahabat.. dalam setiap butirnya....*

*dari perempuan hujan

Saturday, February 19, 2011

Pada percik Hujan


Sudah lama, aku memindai sosokmu pada derai hujan
memastikan setiap serpih mimpiku untuk bersama
tidak ada yang lebih indah daripada cerita tentang hujan
diselipkannya sebungkus rindu

kamu... yang tak pernah berhenti menghujaniku
dengan derai indah meriakan muka telaga.
hingga kutunggu redanya hingga pelangi muncul


aku ingin mengenangmu di tiap hujan
padanya kulihat wajahmu menatapku
ada tempat berteduh di ujung sana.

Sore Selepas Hujan


Aku menatap bumi basah di bawah kakiku. Menikmati gerimis sisa hujan sore ini. Kurapatkan jaketku melawan dingin yang tiba-tiba menusuk. Jaket pemberianmu lima tahun lalu, selepas hujan di suatu senja. Bahkan hangatnya kurasa masih sama dengan hangat hari itu.

“Biar hangat,” ucapmu pendek sambil memasangkan jaket kesayanganmu di tubuhku yang menggigil kedinginan. Aku tersenyum menatap mata teduhmu. Hangat tubuhmu serasa mengalir sampai pembuluh darahku. Menghentikan gemeretuk gigiku setelah ditampar hujan sepanjang sore ini. Sore, yang – entah mengapa—tak ingin sedetikpun kuganti dengan malam.
“Aku suka hujan,” katamu singkat.
“Kenapa? Bukankah hujan itu sepi dan dingin?” ujarku sembari menatap mata teduhmu. Entahlah, menatap matamu selalu menghadirkan debar halus di dadaku.
“Bagiku, hujan itu harapan. Hidup tanpa harapan bagai berjalan tanpa tujuan,” lagi-lagi kau menatapku, kau tambahkan pula sesungging senyum di bibirmu. Ahh, senyummu membuat debar halus itu menjadi ombak di dadaku.
“Dan sore selepas hujan, adalah sore terbaik sepanjang hidupku. Syahdu, menenangkan, menyisakan malam yang indah dan tenang.” Kamu diam menatap langit. “Hujan memberi harapan pada pelangi. Tanpa hujan, pelangi tak akan muncul.” Pelan-pelan kautolehkan kepalamu, dan mata teduhmu lagi-lagi menatapku.
“Kamu, hujan untuk pelangiku,” senyummu mengakhiri sore itu. Meninggalkan debur ombak yang tak kunjung diam di dadaku.

***
Dingin terasa semakin menusuk. Jaketmu mulai tak mempan mengusir dingin itu. Dingin yang memilukan, sepilu hatiku sore ini. Sore selepas hujan.
“Kujemput kamu besok sore, selepas hujan.” Ucapmu sambil mengacak rambutku yang basah. Masih kuingat kata-katamu sore itu.
Hujan pun perlahan turun. Semakin menderas. Bukan dari langit, tapi dari pelupuk mataku.
Ratusan sore selepas hujan telah kulewati untuk menunggumu. Lima musim hujan aku menunggu. Tapi kamu tak juga menjemputku. Pelangimu tak pernah muncul lagi, meski hujan terus menyapa. Setiap saat, setiap waktu. Hujan telah mengambilmu dariku.
Hujan – bagiku – adalah harapan, yang dingin dan sepi. Sedingin sore ini. Sore selepas hujan. Tanpamu.
***
Lirih kudengar sebait lagu di kejauhan, mengiringi langkahku meninggalkanmu. Sendirian, di tempat peristirahatanmu yang abadi.

Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu…
(Utopia – hujan)

By priechantz

sumber

“Kamu, hujan untuk pelangiku,”

(Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan.)



Friday, February 18, 2011

Ingin sepiku


Dalam sunyi teramaikan riuh senandung hati
Dalam sunyi terukir selaksa makna persahabatan

Jadi biarlah sunyi tetap tinggal
karena saat sunyi tiba
Sahabat kan datang


Diam,
Sunyi, sepi,
Tetap begitu,
Tiada ilmu terpahat di dada,
Tiada sayang menerpa di jiwa,
Sayup-sayup namaku,
Dipanggil syahdu,
Hangat mula terasa di jari jemariku,
Lantas ku toleh,
Seluruh dekat ku terasa bernyawa,
Ku rentap sentuhan itu,
Setelah terpampang suatu wajah

Salam dihaturkan, persahabatan di minta,
Kusambut mesra,
Hariku berseri,
Hidupku bermakna,
Anugerah seorang insan,
Bernama sahabat.

Sahabat, aku ingin sepi. Sendiri di relung jiwa sunyi....


feat perempuan hujan

Wujud kata pada takdir

Ia bandingkan yang punya kelebihan
Karena ia tak punya kesungguhan
Ia tak bandingkan yang punya kelebihan
Karena Dia terima kita dalam ketelanjangan

Aku bangkit bagai si bedebah
Yang baru tersadar dari kepongahan akal

Seorang pemimpi tak perlu malam..
Ia ciptakan dunia dalam keramaian....
Sang waktu masih setia menggilir
Setelah pengetahuan malam ƏƉǟ pengetahuan siang

Aku akan datang selalu padaMu ketika embun belum kering...

Thursday, February 17, 2011

Karibku Sunyi

Persahabatan tak butuh keajaiban,,
Yang ada hanya sebuah kebersamaan
Untuk selalu terus berjalan

Kumelangkah tanpamu disampingku
Serasa diruang tak berpenghuni
Walau kuberada dikeramaian
Rasa linglung jika kau tak menemani
Tak tahu berbuat apa
Nyanyikanlah masa-masa lalu
seperti engkau memandang fajar harapan dalam mataku,
Kelak mungkin kau akan pahami
Aku terlalu sunyi......

Wednesday, February 16, 2011

Serenade

Aku tidak pernah berpikir rasa ini bisa berakhir.
Tiada kata menyerah....
hadirmu sudah memberi sebab
dengan senyum sudah mengisi hidupku dengan impian
damai saling berbagi rahasia sepenuh hati
sudah memberi membuat satu alasan
bagaimana caranya lagi untuk tertawa, mencintai, dan melihat.

Jika seratus orang mencintaimu:
Salah satu diantaranya adalah aku

Jika sepuluh orang mencintaimu:
Salah satu diantaranya adalah aku

Jika hanya ada satu orang yang mencintaimu:
Orang itu pastinya adalah aku

Jika tidak ada seorangpun yang mencintaimu:
Itu karena aku tidak menjadi bagian dari dunia ini..

Photosintesa

Daun kecil bimbang

bisakah pertemanan tanpa hati?

hanya karena bersedia tak beri pagar dan rantai besi

daun kecil insyafi diri

dia bukan bunga indah dan semerbak

hanya daun kecil yang mencoba bertahan di reranting

tak mengapa hanya daun kecil tak berarti

tanpa klorofil

tapi daun kecil harap ia bisa berteman karena hati

bukan hanya karena sebuah janji

bisakah?

@rumah pohon

semak-semak

Hampir setahun.....
ruang ini dibiarkan menjadi belukar...
kata-kata menjadi pusara..
rindu dikuburkan

sering muncul rupa tanya
benarkah jalan ini....
akankan langkah ini dapat membawaku kembali pulang
pikiran dan hati seakan enggan berdamai

beberapa hari lalu ...
seperti tersadar..., ada yang hilang
rindu kata.. rindu kalimat
yang selama ini kubiarkan tumbuh..

kita mulai lagi..... disini

Monday, March 22, 2010

Become My Soul Mate...

Are you aware of the feelings you provoke inside the deepest parts of my soul? Do you know that when I look in the mirror it's not my face I see but yours? I constantly imagine your touch and the sensations that delight my very being.

I held my love deep in my heart. It was not something I would easily give to the first sweet smile I encountered. Others have tried to reach deep and retrieve my love, but they were not you. You have awakened the love that was ready to spill from my soul. The love I've kept welled and sealed because I could not be sure if my feelings were real or just an infatuation.

I have not one doubt that you are the one, the only heart to whom I can give my love. You are the rarest and most valuable jewel to treasure. In your presence are riches and riches that can never be duplicated by any other. Say you feel the same love and become my soul mate, my life long love.


Monday, March 01, 2010

embun kesiangan

kata-kataku mengembun

pada daun kecil yang masih mau menerima

setia memeluk ranting ..

sendiri... lagi-lagi sendiri

kupilih diam pada langkah ini

sebait harap kutitipkan di kelopak bunga

mungkin lebah akan membawanya ke balik pelangi esok

pada satu titik

rinduku hanya maut atas hidup.
cintaku tak sempurna
dari tanah kembali ke tanah
tangisan langit menjadi hujan pengunjung
yasin yasin yasin......

Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja pada nisanku

ada seteguk napas yang hilang
hati mengalahkan pikiranku.

daun jingga

bagi daun yang terhempas senja ini..
aku terbaring di ujungnya
dipeluk sang bumi

bagi daun kecil yang di dera bimbang
ada ragu terselip saat angin berhembus

hidup kita sederhana
pertemuan kita sederhana
perjalanan kita sederhana

aku masih harus mati sebagai manusia

Tuesday, December 01, 2009

jika kau mau

jika itu yang kau mau, kan kutahan tiap angin yang berhembus
terpa aku, kataku..

jika dingin kau hindari, biar kupeluk erat
kan kuberi seluruh kehangatan ini, hingga pun harus tak tersisa lagi untukku...

jika hujan pun tak ingin lagi kau temui
asal kau tau, aku akan selalu jadi rumahmu
walau hanya persinggahan... bukan tempatmu pulang

dan jika airmata kau benci, sayang
biar segala sedih
luka..
lara...
dan airmata ini
kan kusimpan sendiri
takkan kubagi lagi..

dimana aku

Entah dimana aku sekarang.., kuraba lagi jejak2 ..
semua berpendar..... seiring dengan pudarnya bayangmu dari khayalku


aku kehilangan suar...........

Thursday, December 20, 2007

Hanya Cinta yang Bisa

Dalam gelap ku masih bisa kulihat paras indah mu
Dalam penat hari ini masih bisa kau menghiburku
dengan senyum manis mu.

Dalam bisingnya dunia kau masih bisa menari dalam hatiku
Hati ku menjadi sangat tentram saat terbasuh oleh rasa cinta ini

Sungguh indah bisa mencintaimu

Meski sering kau buat jiwaku mabuk kepayang
Tapi hatiku sangat bangga bisa mencintaimu

Walau ada saat cinta membuat orang tak dapat berpikir

Sekarang dalam benakku hanya ada bayang mu
Karena aku sedang mabuk cinta
Cinta yang telah kau sematkan dalam hatiku

Kalau bukan cinta mengapa aku segila ini
Hanya Cinta yang dapat membuat jalanku terhuyung-huyung
Dan Cinta hanya yang dapat membuat mata ku hanya tertuju pada mu

Semua ini sangatlah indah..., karena itulah

Aku ingin tetap di sisimu
Karena hanya kau yang bisa membuatku hidup di dunia ini

Candu

Cinta ku pada mu sepertinya bagai malam tak hitam
Tetapi setiap saat kuterbangkan cinta menuju hatimu

Walau aku telah kalah untuk berpacu melawan waktu untuk mencintaimu
Tetapi aku takkan menyerah begitu saja

Walau cintaku kau sia-siakan, tetapi aku tahu kalau kau telah mengerti akan semuanya
sekarang kita telah berpisah satu sama lain tetapi apakah kau tahu ?aku tetap menunggumu

sekalipun kau tak kembali cinta hanya terbuat untuk mu
walau saat mencintai mu hatiku tersayat seperti jemari yang tersayat saat membunyikan sebuah biola

tetapi walau tersayat jemariku aku suka iramanya
karena semakin di mainkan maka akan terdengar
alunan irama indah yang dihasilkan darinya

mencintaimu seperti bermain biola
memang tersayat tetapi aku tetap menyukainya
sekarang biarlah alunan irama indah itu mengalun diantara kita

mengalunlah….mengalunlah
karena itu telah menjadi candu dalam diriku ini

Wednesday, December 12, 2007

lembayung bali

Menatap lembayung di langit Bali
dan kusadari betapa berharga kenanganmu

Di kala jiwaku tak terbatas
bebas berandai memulang waktu
Hingga masih bisa kuraih dirimu
sosok yang mengisi kehampaan kalbuku

Bilakah diriku berucap maaf
masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu

oh cintaTeman yang terhanyut arus waktu
mekar mendewasa

masih kusimpan suara tawa kita
kembalilah sahabat lawas
kusemarakkan keheningan lubuk

Hingga masih bisa kurangkul kalian
sosok yang mengaliri cawan hidupku

Bilakah kita menangis bersama
tegar melawan tempaan semangatmu itu
oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya
senyum yang menyalakan hasrat diriku

Bilakah kuhentikan pasir waktu
tak terbangun dari khayal keajaiban ini
oh mimpi

Andai ada satu cara
tuk kembali menatap agung surya-Mu
Lembayung Bali

Friday, August 24, 2007

Haruskah ku pergi

Kian terasa asing diri ini, diantaramu
yang dulu pernah kudambakan
harapan yang telah tercipta kini seakan sirna
dan resahku kian menggoda

Kian terasa menggoda bayangmu didalam jiwa
saat diri ini mencoba melupa dendam mengubur segala
kenangan indah yang tlah kita bina bersama

haruskah diri ini menjerit dan berlari
mengejar dirimu yang kian jauh melangkah.........
atau kuharus lari dari kenyataan ini
mengejar cinta dan coba melupakanmu

Friday, November 24, 2006

kepak daun di padang sunyi

Ay...., kurindu dekapmu sungguh......
telaga kasihmu ...... mampu musnahkan dahaga yang ada di keseharianku.....

begitu banyak pemuja telagamu ...yang singgah kadang membuatku enggan tuk berbaur........, lebih baik kumati di kesendirian dan kehausan.... ay

Jejak Langkah Shillouette

memandang birunya langit ...., membuat ku mengingatkan semua kenanganku pdamu.....

cinta suci tak perlu kata" ... hanya dengan pandangan mata dan perbuatan membuat kita yakin cinta itu milik kita...

tak perlu dibuat"... wajar apa adanya....,

Tuesday, October 31, 2006

ingin ku mencinta

Aku hanya ingin mencinta…
Tanpa alasan apa-apa…
Tanpa aksara…
Tanpa kata-kata…
Tanpa serangkai bait puisi cinta…

Hanya dengan rasa…
Dengan kasih seutuhnya…
Rindu setulusnya…

Seandainya…
Engkau hadir sebelum dia…

Seandainya…
engkau ada dan dia tiada…
Engkau mencinta…

begitu pun ia…
Dan cinta hadir…Aku…Engkau…Dia…
Cinta yang tak butuh kata…
Cinta yang tak butuh tali pengikat jiwa…

Aku, engkau, dia…
Tak pernah berbeda…
Kita semua mencinta…

(Semoga) tanpa alasan apa-apa…
Biar cinta juga mencinta…
Hanya karena ia ingin… mencinta…

langkah senyap.........

jiwa yang berpendar.......
perlahan senyap.......
jiwa yang terpuruk...
pada palung yang tak berdasar........
ku tak sanggup menghentikan rasa ini.....
sungguh tak sanggup.........
luka dan duka adalah syarat mutlak yang harus kutebus....

mencintaimu seperti memegang bara panas.....
yang dapat menghangatkan jiwa ini....., tapi dapat membakar habis pula ......................

Di sanalah aku..
Menghadap sang persada kembali.
Pulang dalam kesendirian.
Kembali dalam kesunyian.
Untuk mendapatkan senyap

Friday, October 20, 2006

selamat ulang bulan

rasa ini terlalu dalam........
akarnya telah menelusup ke segenap pori-pori tubuhku
tak ada ruang lain selain cinta ini kepadamu...

tinggal jika kau ingin...., pergilah jika kau tak ingin.......

Ajarkan Aku

Ajarkan kutersenyum:
Saat alam bermuram durja,
Saat semesta berduka,
Saat dunia terisak dalam tangisnya…

Ajarkan kumenangis:
Saat angkasa tersenyum bahagia,
Saat cakrawala menari gembira,
Saat persada bersuka…

Ajarkan kuterdiam:
Di tengah keramaian,
Di tengah kebisingan,
Di tengah kegalauan…

Ajarkan kuberteriak:
Dalam keheningan,
Dalam kedamaian,
Dalam kesunyian….

Ajarkan kubercermin:
Pada pantulan hati,
Pada wajah sanubari,
Pada sang mimpi

Ajarkan kubermimpi:
Tentang sebentuk angan,
Tentang sebentuk impian,
Tentang sebentuk harapan…

Ajarkan kuberharap:
Dalam ketidakpastian,
Dalam keraguan,
Dan segala kebimbangan

Ajari aku untuk tetap hidup…




ite

kuingin sepiku

tak ku sebut duka itu
tak kujamah sunyi ini
saat bayangmu datang menyapa
seharusnya hari ini adalah penggenapan ke 60 hari bertautnya perasaan..yang seharusnya bahagia.., menjadi abstrak..
gores-gores sunyi makin tegas
membentuk hamparan savana tanpa oase
jingga mulai menghiasi langit dada
titik air embun serasa enggan datang di malam nanti

sapalah duka

apa lah artinya hubungan jarak jauh........
jika mentari sama diartikan lain.....

selalu banyak kejutan dari hari ke hari...
menyatukan dua kepala memang tak semudah membelah lautan
terlalu banyak ego yang menumpuk
kemarau yang panjang.. hilang oleh hujan sepagian....

terlalu banyak mungkin hati ini terserpih....
mengungkap elegi2 usang.....,
tersusun menjadi plakat2 hidup untaian kalung air mata menjelma menjadi perhiasan terindah yang kan kuberikan padanya

itu air mataku yang sekian lama membatu
mungkin memang aku merindukan duka ini .....
telah lama duka tak memelukku dengan tulus
ahhh..., betapa manisnya lara .., irisan sayatan hati... terasa begitu indah
gelak tawa lara........, manisnya kesedihan... kemana semua itu selama ini
sapalah aku kembali.........kita kembali bersenandung nyanyian sunyi...
hingga saatnya nanti.....

Kabut....., telanlah aku

kerdip mata di kabut sunyi.
makin menggigil di peluk malam...

tambur detak jantung riuh menghiba...
katakan duhai malam...., kuingin membakarmu

Tuesday, October 17, 2006

Katanya

Katanya...
Kataku: aku baik-baik saja...
Katanya: aku tak terlihat baik-baik saja...

Kataku: aku butuh sebatang rokok...
Katanya: merokok tidak baik untuk kesehatan...

Kataku: sebetulnya malam ini aku ingin mabuk...
Katanya: mabuk merusak akal sehat...

Kataku: seharusnya engkau mengerti...
Katanya: seharusnya kau tidak memaksa orang untuk mengerti...

Kataku: terlalu banyak yang terjadi belakangan ini...
Katanya: tinggal bagaimana kau memilih...

Kataku:aku tak bisa menangis...
Katanya: itu karena kau memilih untuk tidak menangis...

Kataku: aku manusia tegar...
Katanya: kau tidak perlu selalu menjadi tegar...

Kataku: ternyata tak se-sederhana yang kupikir...
Katanya: kau membuat segala sesuatunya menjadi rumit...

Kataku: aku yang menjadi korban...
Katanya: betul kau yang menjadi korban?

Kataku:mengapa sekarang?
Katanya: mengapa bukan sekarang?

Kataku: aku kecewa...
Katanya: aku mengerti...

Kataku: karena ini masalah perasaan...
Katanya: sungguh indah kau masih bisa merasakan...

Kataku: aku tidak mengerti...
Katanya: tidak ada yang perlu dimengerti...

Kataku: seandainya bisa kuputar ulang segalanya...
Katanya: kau tetap akan mengambil keputusan yang sama...

Kataku: aku akan baik-baik saja....
Katanya: aku percaya kau akan baik-baik saja....

"Boleh aku menangis sekarang?"
"Tentu saja...."

( akhirnya ku bisa menangis tanpa suara...)

thx to ite...

Tuesday, October 03, 2006

Tetes Hujan Menjadi Abu

Tetes Hujan Menjadi Abu
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Media Indonesia, Edisi 10/02/2005

SUDAH tiba saatnya saya pulang, bisik Andria dari balik jendela kamarnya. Ia gemetar menatap pemandangan yang terjadi di luar. Hujan turun dan setiap tetes airnya berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Bahkan yang memercik ke bibir lantai teras yang dapat diintipnya, juga menjelma abu. Seketika. Tanpa menunggu jeda.

Andria teringat pesan neneknya dalam bahasa Jawa. Yang maknanya kira-kira demikian:
"Jika kamu melihat tetes hujan menjadi abu, segeralah pulang. Itu tanda aku akan kembali kepada Sang Empu. Berilah aku doamu untuk terakhir kali. Dan miliki warisanku yang kelak juga kamu wariskan kepada cucumu."

Pesan yang tak akan ia lupakan. Karena ditulis dalam sebuah kertas dan dibungkus saputangan, yang diserahkan menjelang Andria meninggalkan rumah keluarga di bukit Paninggaran. Andria sejak awal tak berani membuka bekal yang mirip pusaka itu. Meskipun neneknya tak banyak mengutarakan dalam bentuk kata-kata, linangan air mata yang tak sampai mengalir ke pipi keriput itu telah mewakilinya.

Boleh jadi, Andria adalah cucu kesayangan. Tak dapat dimungkiri karena ia anak tunggal dari ibu yang meninggal muda. Sang ayah, menantu nenek, seorang yang sungguh setia. Ia bersitahan untuk tetap menjadi petani dan menggarap kebun yang luas dengan sepasang tangan kekarnya. Otot-ototnya yang bercecabang menonjol di atas kulit berwarna tembaga menunjukkan kekuatan yang terhimpun di dalamnya.

Andria kagum terhadap ayahnya. Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya ia bisa saja pergi dari rumah untuk mencari perempuan lain pengganti istrinya. Ia masih sangat pantas untuk menikah lagi dan mungkin akan memberikan adik-adik tiri bagi Andria. Tetapi tak pernah ia lakukan. Tanpa alasan yang benar-benar jelas, kenapa ia tidak menikah lagi. Karena itu, selama ini, Andria hanya menduga-duga, mungkin cinta ayahnya memang tak mungkin terbelah. Tak tergoda oleh perempuan lain, yang bahkan lebih cantik dari mendiang ibu Andria.

Ketika Andria lepas dari sekolah menengah pertama, ia mulai merasakan ada yang tak beres dengan kesetiaan ayahnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki, dengan nafsu yang umumnya meletup-letup, mampu bersikeras untuk tidak menikah lagi. Apakah batang zakarnya tak sanggup menegang lagi oleh paras cantik atau lekuk tubuh dan bentuk buah dada seorang perempuan? Apakah tak ada desir darah bersilekas setiap kali Andria mencoba melewati ayahnya hanya dengan lilitan handuk setiap habis mandi dari pancuran? Apakah celoteh para perawan iseng yang sengaja beramai-ramai mendahului jalan ayahnya saat menuju sungai tidak menerbitkan khayalan erotis?

Justru karena Andria tahu, bahwa perempuan dapat lebih tabah menahan gejolak nafsunya, dan dibenamkan ke dalam mimpinya, sementara laki-laki akan segera mencari pelampiasan, maka keheranannya tampak membutuhkan jawaban.

"AYAH tak bisa meninggalkan ibumu begitu saja, Andria."

"Ibu sudah meninggal, mungkin hari ini ulang tahun keempat atas kematiannya. Saya kira sudah cukup perkabungan itu."

"Apakah kamu tidak ingin cintamu terhadap ibumu menetap kekal?"

"Ayah jangan menyangsikan cinta saya terhadap Ibu. Meskipun saya mengenalnya hanya beberapa tahun, namun semua yang dilakukan Ibu terhadap saya hampir semua berkesan."

"Apakah kamu ingin memiliki ibu baru yang kita tidak tahu sebesar apa rasa sayangnya terhadapmu?"

"Bukan itu yang saya pikirkan, Ayah. Justru saya ingin Ayah dapat kembali bahagia seperti waktu saya kecil."

"Apakah kamu melihat saat ini Ayah tidak bahagia?"

"Ayah, bukankah saya yang ingin bertanya kepadamu? Bukan sebaliknya. Kenapa Ayah yang selalu meminta jawaban dari saya?"

"Percayalah, Andria. Ayah merasa sangat bahagia. Karena sesungguhnya ibumu tak pernah pergi dari sini."

"Ayah jangan berdusta. Sekarang saya telah duduk di sekolah menengah atas, mulai tahu perasaan-perasaan orang lain. Saya sudah menstruasi sejak dua tahun yang lalu."

"Pengetahuanmu bisa keliru, Andria...."

"Itu karena Ayah mencoba menutupi rasa sedih yang berkepanjangan. Sementara itu, sesungguhnya, kita dapat memulai hidup yang baru, dan menciptakan kebahagiaan yang baru."

"Ah, Ayah jadi heran. Ini desa terpencil. Kamu harus berjalan kaki tiga kilometer untuk sampai ke sekolahmu. Ayah juga yakin, guru-gurumu itu sisa dari jumlah yang telah dipilih oleh sekolah-sekolah di kota. Tetapi kenapa kamu jadi sok tahu? Siapa yang mengajarimu, Andria?"

"Dengan pertanyaan itu, Ayah sepertinya mengharapkan saya tetap bodoh, dan tetap percaya dengan alasan-alasan Ayah yang tak masuk akal."

"Andria! Maafkan kalau Ayah telah membentakmu. Maafkan. Sesungguhnya Ayah ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, tapi tentu tidak sekarang. Sebaiknya saat ini kamu percaya saja kepada jalan yang Ayah pilih...."

"Meskipun saya tetap tak mengerti, saya tak akan mendesak Ayah. Hanya Ayah yang tahu semua yang terbaik buat Ayah. Maafkan Andria, jika pertanyaan-pertanyaan tadi membuat hati Ayah terluka."

"Ayah tahu. Dan kamu juga harus tahu, bahwa Ayah sangat mencintaimu. Seperti Ayah mencintai ibumu. Pergilah tidur. Ayah ingin merokok sebentar."

JEMARI tangan Andria gemetar mencengkeram jeruji, yang melindungi kaca jendela jika sewaktu-waktu ada seorang maling yang memecahkannya untuk mencoba masuk ke dalam kamar. Ia masih menatap tetes-tetes hujan yang seketika menjadi abu begitu menyentuh pelataran atau aspal jalan di depan rumah.

"Sudah tiba saatnya saya pulang," desisnya sendiri.
Andria akan segera melupakan semua rencana hari ini. Ia akan segera menepis janji-janjinya terhadap teman sejawat atau kekasihnya untuk keluar rumah besok hari Minggu. Ini Sabtu yang akan mengubah sejarah. Saat ia melihat sesuatu yang sejak awal tak pernah dipercaya.

Tulisan neneknya itu, yang dibuka dan dibaca justru setelah ia mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Hampir secara tak sengaja. Ketika ia akan membereskan seluruh pakaian dalam lemari yang baru dibelinya, ia menemukan saputangan yang diikat rapi di saku tas yang tak benar-benar dibongkarnya sepanjang ia merantau.

Begitu terpesona ia membaca pesan nenek yang tertulis dengan tinta melepuh, nyaris luntur, di atas kertas yang mulai menguning. Dalam bahasa Jawa. Tapi, karena Andria memang orang Jawa yang lahir dan memiliki masa kecil di pedalaman, ia tidak mengalami kesulitan untuk menangkap artinya.

"Berarti saat ini Nenek sudah saatnya menghadap Tuhan." Ia bergumam sendiri. "Benarkah demikian?" Ia meragukan kesimpulannya. Tapi, sebenarnya, ia lebih meragukan pandangannya terhadap tetes-tetes hujan itu.

Dan yang paling menyedihkan, di rumah tak ada seorang pun yang dapat ditanya: mengapa hujan kali ini berperangai aneh? Sebuah metamorfosa yang tak lazim. Bahkan sepanjang sejarah hidup manusia, rasanya.

"Berarti saya akan pulang tanpa pamit. Kata 'segera' dapat diartikan sebagai tidak ditunda-tunda lagi."
Lantas ia pun berkemas. Ia harus bergerak lekas. Tak perlu membawa banyak pakaian, karena tentu tak akan lama di Paninggaran. Jika memang benar neneknya akan meninggal dunia, atau bahkan telah meninggal dunia, Andria akan segera kembali ke kota setelah tiga hari kenduri. Sebab, meninggal adalah hak semua orang. Jadi Nenek telah mendapatkan haknya, tak perlu lagi disesali atau ditangisi berlarut-larut.

Entah kenapa, mata Andria mendadak terasa panas. Lalu mengalir air bening dari kelopak matanya. Kesedihan yang serta-merta meruyak dalam dadanya telah membuatnya menangis. Ia tiba-tiba menyadari, bahwa dirinya adalah cucu kesayangan. Buktinya, ia mendapatkan pesan khusus dari neneknya. Ya, melalui tetes-tetes hujan itu. Yang serentak menjadi abu begitu menyentuh tanah. Pelataran dan kebun yang diguyur hujan sama sekali tidak basah.

DIKUNCINYA pintu kamar. Andria hanya menuliskan pesan ringkas dengan Bahasa Indonesia di atas kertas yang diletakkan di meja makan. Dengan cara itu ia pamit kepada pemilik rumah. Dengan cara itu pula ia berharap pemilik rumah akan menyampaikan pesan kepada teman sejawatnya yang akan lewat di depan rumahnya untuk bekerja pada shift sore.

Tentu Andria tidak menuliskan kata-kata: "Saya melihat tetes-tetes hujan menjadi abu, sehingga saya harus segera pulang ke gunung." Kata-kata itu hanya akan membuat pemilik rumah bingung. Dan akan menganggapnya sebagai cara minggat tanpa membayar sewa kamar yang tak santun.
Hujan reda ketika Andria mulai bergegas ke jalan raya. Tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk tetap pulang ke Paninggaran. Pesan singkat itu sudah cukup untuk membuatnya berangkat. Di ujung gang ia mencegat sebuah angkutan kota yang akan membawanya ke terminal bus antarkota-antarprovinsi.

Ketika sebuah bus jurusan Pekalongan sedang merayap di mulut terminal, Andria tidak berminat menunggu lagi. Ia yakin, sebelum musim Lebaran, tentu tak akan berdesak-desakan. Ia pun masuk ke dalam bus yang memiliki kondektur begitu ramah sampai tangannya mendekap erat bokongnya, seperti takut Andria akan jatuh.

Dilihatnya bangku kosong dekat pintu belakang. Ia pun duduk dan merasa tenang, karena bus itu tidak lagi berhenti mencari penumpang. Perjalanan akan memakan waktu sekitar sembilan sampai sepuluh jam, tapi bukan lagi menjadi masalah. Karena memang tak ada jalan lain, kecuali jika hendak mengikuti jadwal kereta api.

Persis setelah melewati Bekasi, kondektur menarik ongkos. Mungkin karena tugas mencari penumpang sepanjang perjalanan sebelum masuk jalan tol telah selesai, dan dengan demikian, ia dapat menganggur duduk di bangku paling belakang. Memang benar, perjalanan demikian lancar, membuat semua penumpang tertidur lelap.

Saat itulah kembali turun hujan. Mula-mula Andria tidak memperhatikan, karena ia pun mulai mengantuk. Namun, ketika teringat sebab-sebab kepulangannya, serta-merta hilang rasa kantuknya. Ia menegakkan punggung, sehingga matanya dapat memandang jalan raya yang sedang dilalui bus itu.

Astaga! Setiap tetes hujan yang menimpa aspal serentak menjadi abu. Tetes-tetes yang jatuh beribu-ribu dari langit itu tidak membuat jalan basah. Justru kini menebar sebagai debu kelabu terbawa angin yang menderas oleh kecepatan bus. Mirip abu rokok yang dijentikkan sembarangan.

"Tak mungkin!" bisik Andria terkesiap. Di balik jendela rumahnya, boleh saja pemandangan muskil itu terlihat olehnya. Tapi, di jalan raya ini.

Sekarang saatnya mencari saksi. Di dalam bus ini setidaknya terdapat dua puluh orang penumpang. Andria dapat memastikan, apakah benar yang dilihatnya itu? Tetes-tetes hujan menjadi abu!

Tapi ia melihat seluruh penumpang sedang terlelap. Ia menunggu sampai ada di antara mereka yang bergerak, sehingga ia punya alasan untuk bertanya. Tapi selama hampir sepuluh menit tak ada yang menunjukkan gerakan orang yang terjaga. Kepala mereka rebah ke sandaran. Ada yang terbungkuk-bungkuk, atau tergolek ke samping, terayun-ayun oleh gerakan mobil yang melaju.

Orang yang duduk di samping Andria, bahkan mendengkur lantaran begitu pulas. Siku Andria mencoba menusuk ke tulang rusuknya, pura-pura tak sengaja, namun tak menghasilkan apa-apa. Kepalanya mencoba menengok ke belakang, siapa tahu kondektur sedang terjaga. Ia kecewa, karena lelaki yang telah sengaja memegang pantatnya itu juga sedang tidur dengan mulut setengah terbuka.

Apakah sopirnya juga tidur? Tiba-tiba Andria terperanjat dan cemas.

"Tak mungkin!" desisnya. "Tak mungkin saya berteriak dari sini, memanggil sopir untuk menanyakan apa yang dilihatnya...."

Sopir itu begitu tekun mengendarai bus. Seolah-olah dia yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh penumpang, agar masing-masing sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Tapi... tentu mata sopir itu melihat hujan yang turun membasahi jalan raya yang sedang ditempuhnya.
Membasahi! Itulah yang seharusnya dilakukan oleh hujan terhadap hamparan tujuannya. Tapi, seluruh yang dilihat oleh Andria melalui jendela di sampingnya: tetes-tetes hujan itu menjadi abu. Akhirnya Andria putus asa. Ia tak berani berteriak karena akan membangunkan semua penumpang dan mungkin akan memancing kemarahan mereka yang merasa terganggu kenikmatannya.

"APA yang telah terjadi, Ayah?" Andria menghambur ke dalam pelukan laki-laki bertangan kekar itu. Ia telah melihat tenda terpasang di halaman rumah.

"Nenekmu meninggal dunia. Kemarin siang." Ayahnya membelai rambut anaknya. "Panjatkan doamu yang terakhir. Ia disemayamkan di ruang tengah. Sepagi mungkin, nanti, akan dikuburkan dekat makam ibumu."

"Maaf, saya datang terlambat. Tadi lama menunggu kendaraan di Kedung Wuni."

"Kamu datang tepat pada waktunya, Nak. Ayah justru mau bertanya, siapa yang memberi tahu kamu?"

Andria memandang ayahnya, tapi tak mengucapkan apa-apa. Ia segera masuk ke dalam rumah, dan bersimpuh di depan jenazah neneknya. Beberapa orang yang sedang mengaji di sekitarnya sedikit menepi. Andria membaca doa, lalu mencoba mengamati wajah neneknya yang teduh.

"Sesuai dengan pesanmu, saya telah melihatnya. Karena itu saya segera pulang," Andria menggerakkan bibir tanpa suara. Seperti khawatir akan membangunkan perempuan tua itu kembali.

Sementara pagi hampir tiba. Malam lembab itu telah menyadarkan Andria pada tubuhnya yang terasa ringsek karena perjalanan panjang yang dilaluinya. Ia kembali menuju tempat ayahnya duduk, dan minum kopi yang sudah dingin di meja ayahnya.

"Kini Nenek telah meninggal. Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?" tanya Andria.

"Pertanyaan Ayah belum kamu jawab. Siapa yang memberitahumu bahwa Nenek meninggal?"

Andria mengeluarkan kertas lusuh dari sakunya. Memberikan kepada ayahnya untuk dibaca. Laki-laki itu terdiam lama tak berkata-kata. Sampai Andria kembali memecah kesenyapan.

"Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?"

"Entahlah," Ayahnya menundukkan kepala. "Ayah tak dapat mengkhianati ibumu yang tetap setia menemani Ayah tidur, dan selalu menyeduh kopi pagi-pagi lalu meletakkannya di kamar..."

"Maksud Ayah?" Andria menyentuh tangan ayahnya. Ia tak yakin dengan pendengarannya.

"Entahlah...."
Apakah Andria harus mempercayai kata-kata ayahnya? Seperti harapan Andria agar ayahnya percaya padanya tentang tetes-tetes hujan yang menjadi abu?

Jakarta, 21 September 2005

Randu Rekah

Randu Rekah
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Suara Karya, Edisi 07/24/2005
--------------------------------------------------------------------------------

"AKU akan melamarmu di musim randu rekah. Saat itu langit di atas kampung kita dikelilingi kapuk yang melayang-layang seperti burung putih yang larut oleh hembusan angin," kata Sanusi pada suatu senja di tepi sungai. Sepasang kakinya terjulur ke tebing yang memiliki undakan batu. Sesekali air memercik dingin. Melepaskan serpih lumpur yang mengering di atas matakaki.

"Aku tak ingin mendengar janji apa pun." Tami memandang langit yang mulai dijalari warna kesumba. Ia mulai membayangkan gumpalan kapuk yang melepaskan diri dari kulit buah randu, bukan terjun merendah, melainkan terbang semakin jauh. Dan Tami sungguh takut jika cinta Sanusi suatu saat menjauh.

"Aku serius, Tami. Coba pandang mataku." Wajahnya mendekat. Tami tahu dari hembusan nafasnya yang menyapu pipi.

"Sudah kubilang, aku tak ingin mendengar janji apa pun." Tami bertahan tidak menoleh. Reranting randu di atas kepala mereka nampak seperti coretan tangan seorang arsitek. Batang kehijauan menjulang, meraih gumpalan awan.

"Janjiku tidak berlebihan. Kukira, itu tak sampai tahun depan." Selanjutnya Tami merasakan hidung Sanusi menyentuh lingir dagunya. Rambutnya berkibar oleh angin yang berhembus sepanjang sungai. Suara kericik air yang membentur batu memperdengarkan komposisi musik.

Dan Sanusi menciumnya. Memagut kelopak bibirnya begitu dalam. Sedikit terengah oleh nafsu. Dalam percakapan, Sanusi menyebutnya sebagai hasrat dari cinta. Tami tahu. Tami sangat paham karena ia pun memiliki rasa cinta pada lelaki itu. Kangen akan memenuhi rongga dadanya setiap kali Sanusi tidak berada di depannya ketika sedang dibutuhkan. Misalnya ketika Tami ingin menyampaikan perkembangan perasaan ibunya terhadap Sanusi, sementara lelaki itu sedang berada di pos penampungan getah karet. Dan baru sore hari dapat ia berikan kabar itu, tetapi tentu dengan letupan perasaan yang mulai layu.

Sanusi masih menciumnya. Lidahnya kadang-kadang menerobos ke dalam celah bibir Tami. Ia suka tersengal, tapi sedikit disembunyikan. Tami ingin memeluk erat tubuh Sanusi dengan kedua tangan lalu rebahan atau bergulingan di atas rumput. Jika sesekali kehilangan kendali, mungkin akan merosot di tubir tebing hingga tubuh mereka tercelup bersama-sama ke dalam sungai. Mungkin menjadi adegan yang sangat menarik: bercinta sekaligus berenang melawan arus air.

Tapi tidak. Sanusi telah menyelesaikan ciuman panjang itu. Memandang wajah perempuan pujaannya itu dengan mata yang berbinar. Tami sungguh terharu melihat api semangat menyala di sana. Pasti tekadmu untuk melamarku begitu tinggi, pikir Tami. Seraya membayangkan sebuah pelaminan, sebuah ranjang, dan sebuah percintaan yang bebas. Sayangnya, mengapa Sanusi menjanjikan waktunya? Padahal Tami ingin semuanya mengalir dan terjadi begitu saja. Seperti sungai di depannya. Tami tidak ingin kecewa jika sewaktu-waktu janji itu meleset.

"Bagaimana?" Sanusi masih mengharap jawaban Tami.

"Terserah kamu," Tami hanya tersenyum. Selalu tidak tega membuat perasaan lelaki itu patah.

"Apa maksudmu dengan terserah?" kejar Sanusi. "Tidak bermaksud meragukan janjiku, bukan?"

"Aku percaya. Bukankah selama ini aku percaya padamu?" Tami memandangi mata Sanusi. Ingin menangkap sesuatu yang mungkin tersembunyi.

"Ya," akhirnya Sanusi menghela nafas seperti melepaskan beban. Ia kembali duduk di samping gadis itu. Matanya memandang langit, seperti ingin menyambung pemandangan berhias reranting pohon randu yang tadi terputus oleh peristiwa ciuman.

"Mari kita pulang," ajak Tami. Sebentar lagi senja berakhir.
* * *

DAN kini, senja yang cantik di tepi sungai itu, tidak lagi ditemui Tami. Ia memang bisa mengunjungi tempat yang sama, seperti sekarang ini, tapi tidak dengan kehadiran Sanusi. Tidak dengan hembusan nafasnya di sekitar pipi. Tidak dengan ucapannya yang mengandung banyak harapan.

Sungai itu masih juga mengalir ke arah yang sama. Bening dan mempertontonkan samar-samar kontur di dasarnya. Kadang-kadang Tami dapat berkaca jika membungkukkan badan sambil berpegangan pada batang petai cina yang tumbuh di tebing sungai. Kadang-kadang dapat dilihatnya buah-buah randu yang bergelatungan seperti kantung tidur berwarna hijau, dan awan-awan berserak sebagai latar.

Tapi, seperti ucapan seorang filosof, sungai hari ini berbeda dengan sungai kemarin dan esok pagi. Air itu tidak diam. Mereka terus mengalir dari hulu ke hilir. Yang ditemui Tami sekarang, andaikan bisa bicara, tak mungkin menjadi saksi janji Sanusi senja itu. Kini dia hanya sanggup mengenang sendiri. Entah kenapa, merasa sangat bahagia jika yang dikenangnya adalah peristiwa manis sebelum Sanusi menghilang. Tami akan menyebutnya sebagai nostalgia bersama bekas kekasih.

"Aku akan mengirim surat setiap pekan. Aku punya waktu pada setiap Sabtu malam atau Minggu pagi. Pada hari Senin, saat istirahat, aku akan pergi ke kantor pos yang tak jauh dari proyek."

Hari Jumat pada pekan yang sama, biasanya Tami menerima surat Sanusi. Perasaannya bahagia, karena tulisan Sanusi mengandung cinta. Mengandung rasa kangen yang dalam. Tami sanggup mengulang baca beberapa kali dan tak ingin jauh-jauh menyimpannya. Tami juga bersemangat membalasnya. Meskipun kemudian harus naik sepeda ke arah kecamatan sepanjang lima kilometer. Di samping kantor Camat ada sebuah kubus kecil - Tami menyebutnya demikian karena sebagai sebuah kantor tampak terlalu mungil - dengan pintu dan lisplank berwarna oranye. Di situlah Tami menyerahkan surat yang sudah dimasukkan ke dalam amplop. Dibelinya prangko dan benar-benar menunggu sampai petugas pos yang ramah itu memalu tera ke atas prangko dan memasukkan surat itu ke semacam keranjang. Tentu, petugas pos itu tidak akan alpa membawa karung kecil berisi kiriman surat dan paket ke pusat kabupaten pada sore harinya. Tentu.

Sebelum surat itu benar-benar tiba di tangan Sanusi, ia selalu membayangkan lelaki pujaannya menerima dan membacanya dengan perasaan tak sabar. Sampai-sampai tidak menunggu keringatnya kering atau bahkan mandi terlebih dulu. Ah, pasti kertas surat yang semula bersih menjadi ternoda karena tangannya tidak sempat dicuci sepulang kerja.

"Mungkin saat Lebaran nanti aku tidak bisa pulang, karena gedung yang kami bangun harus segera selesai. Aku akan nitip paket saja kepada saudaraku yang pulang kampung. Ya, sekedar hadiah Lebaran. Mudah-mudahan setelah bulan Syawal, aku benar-benar memiliki libur panjang."

Tami membaca surat Sanusi di awal Ramadhan itu dengan rasa sedih. Seperti ada yang tercerabut. Di saat semua orang berbahagia karena berkumpul dengan handai-tolan, kekasihnya tidak muncul. Seolah Sanusi telah merencanakan untuk tidak muncul. Meskipun itu bukan kehendakmu, batin Tami, tapi aku menganggapnya seperti itu. Kau telah merencanakan untuk tidak muncul! Mudah-mudahan suratmu kali ini mengandung canda.

Sebenarnya Tami dulu ingin menghalang-halangi kepergian Sanusi. Sebagai bekas mahasiswa Fakultas Pertanian yang drop-out karena lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kampus sehingga menyia-nyiakan batas toleransi perkuliahan itu, ia lebih dibutuhkan di desanya ini. Sebuah wilayah di pinggang gunung yang sangat cocok untuk bertanam cengkeh dan kopi, selain pohon karet dan pinus. Toh Sanusi tidak terlampau bodoh. Bahkan dalam berbicara tampak luas perbendaharaan katanya. Terlihat kaya dengan gagasan meskipun kadang-kadang terasa aneh. Namun Tami yakin, Sanusi mampu mengumpulkan para petani dan pemilik kebun untuk sedikit belajar mengenai cara menanam bibit yang baik. Atau tentang bagaimana cara menyiasati musim yang sering tidak teratur.

Entah mengapa, lelaki itu justru tertarik dengan suasana pembangunan di kota. Di Jakarta pula. Katanya, ia ingin mempersembahkan tarikan ototnya dengan turut membangun gedung berlantai puluhan, yang tingginya tidak kepalang. Ketinggian yang akan membuat orang singunen, gemetar dan berkunang-kunang.

"Aku senang membaca suratmu, Tami. Kamu banyak memiliki cerita lucu, yang ketika aku di dusun tak pernah muncul. Aku jadi sering merasa kangen. Tapi perjuangan memang tidak ringan, tidak sederhana, dan untuk mencapai keinginan selalu diperlukan semacam pengorbanan."

Tami suka menyeka airmata setiap perasaannya tersentuh haru. Begitu besar hasrat Sanusi untuk menjadi seorang yang akan dihormati karena memiliki banyak uang. Tapi dia tak pernah bertanya kepadaku, bisik Tami, apakah yang sesungguhnya aku butuhkan? Dia tak pernah tahu, bahwa aku lebih bangga ketika dia bersedia mengembangkan desanya sendiri. Menggarap hutan atau kebun yang pasti membuatnya lebih sehat. Tanpa gelar insinyur bukan berarti tidak memiliki kecakapan setingkat insinyur.

Ternyata benar, segala janji Sanusi segera menjadi serpih ditiup angin. Setelah Lebaran tiada kabar dia akan pulang menjenguk Tami. Acap kali ibunya menanyakan kepastian lelaki itu akan melamar, atau setidaknya pulang menunjukkan diri bahwa masih setia terhadap kekasihnya. Diam-diam, di sudut malam, ketika hawa dingin meresap ke sela anyaman dinding rumah, disaksikan bulan yang sedang purnama, Tami menangis. Dia merasa lelah dengan keadaan seperti itu. Kesepian seorang diri selama berbulan-bulan. Ia menyesal telah mendengar janji Sanusi. Karena yang terjadi kemudian adalah yang selama ini ditakutkan.

"Sanusi berangkat ke Malaysia," kata Sucipto beberapa hari yang lalu. "Kebetulan aku bertemu di Tebet."

Mata Tami terbelalak, namun bibirnya terkatup gemetar.

"Apakah tidak meminta ijinmu?" tanya Sucipto kemudian.

Jangankan meminta ijin atau pendapat, bahkan memberi kabar pun tidak. Mata Tami terasa panas. Tapi tak mungkin seketika itu juga mencurahkan perasaan sedihnya kepada Sucipto.

Memang, awalnya, Sanusi tinggal beberapa minggu di rumah Sucipto sebelum mendapatkan dan mampu membayar kontrakan sendiri. Sebagai pedagang Batik Pekalongan, Sucipto telah memiliki banyak pelanggan di Jakarta. Alamatnya yang cukup dikenal di 'pedalaman' Warung Buncit sering menjadi tujuan surat yang datang dari desa di pinggang gunung ini.

Termasuk surat Tami untuk Sanusi!

Barangkali surat Tami yang terakhir, yang mengabarkan bahwa orangtuanya telah berulangkali menanyakan niat Sanusi untuk melamarnya, tidak sempat diterimanya.

Tami menggeleng karena Sucipto masih memandangnya. "Aku menunggu suratnya, Kang. Lama tak kunjung tiba."

"Boleh jadi, surat kamu yang terakhir itu tak pernah sampai ke tangannya." Sucipto ikut cemas. "Aku suruh Bilung untuk mengantarkan ke kontrakannya. Tapi sehari kemudian aku justru bertemu dengannya sudah siap-siap berangkat bersama rombongan yang aku kurang mengenalnya."

* * *

RANDU telah rekah. Angin semilir membuat kelopak kapuk itu berayun, sebelum menebarkan serpih putih. Sudah saatnya dipetik, dikupas, dan dipisahkan antara kapuk dengan biji kelentengnya. Lalu dihimpun dalam karung-karung.

Tami selalu menutup hidungnya yang indah setiap kali menangani kapuk-kapuk itu. Tidak seperti Nurimah atau Titi, yang tak pernah menjadi bersin-bersin oleh hembusan serat kapuk yang beterbangan.

Ayahnya sedang membaca koran yang terlambat dua hari tiba di desa ini. Konflik antara Malaysia dan Indonesia tampil sebagai berita utama, berkaitan dengan tenaga kerja ilegal yang harus pulang segera ke tanah air. Tidak secara baik-baik, melainkan terusir!

Tami pura-pura tak mendengar suara ayahnya yang sengaja membaca dengan keras. Ia hanya heran kepada Sanusi yang terpikat kebun kelapa sawit di negeri orang, sementara di desa ini masih ada hamparan tanah berbukit yang ditumbuhi pohon karet, damar, pinus, cengkeh, kopi, dan berbagai buah-buahan. Apa yang telah membuat mata lelaki itu nanar dan perasaannya kepincut? Sedangkan di sini ada seorang kekasih setia yang boleh dicium di tepi sungai, sambil memandangi langit senja dengan kapuk randu yang melayang-layang.

Perasaan nyeri itulah yang kemudian membawa kaki Tami berlari ke arah kebun di belakang rumah. Menerobos pagar yang terbuat dari batang-batang berduri pohon salak, menyusuri jalan setapak yang semakin menurun. Rerimbun petai cina, pohon durian, dan perdu dilalui dengan serabutan. Sampailah Tami di tempat landai tepi sungai, tempat dia biasa duduk-duduk bersama Sanusi lebih dua tahun yang lalu.

Dan Tami teringat janji Sanusi. Janji yang sesungguhnya tak ingin didengarnya. Karena saat ini, sambil berbaring ia bisa memandang buah-buah randu pecah merekah, memamerkan gumpalan kapuk. Sementara seseorang yang berjanji akan melamarnya justru tak terdengar kabar-beritanya. Kecuali tentang nasib buruk tenaga kerja Indonesia tak resmi yang sedang kalang-kabut berkemas dan harus pulang. Adakah Sanusi termasuk di antara mereka?

Tami menggeleng seraya tersenyum pahit. Mungkin akan terasa nyaman jika perlahan-lahan kakinya yang menggantung di lereng sungai itu dicelupkan ke dalam air yang mengalir gemericik. Dingin arus bening itu akan meresap ke kulit. Lalu perlahan-lahan pula ia pejamkan mata, agar tak tampak pemandangan yang membuatnya selalu teringat masa-masa indah dulu. Kemudian, siapa tahu dasar sungai itu berminat menarik tubuhnya untuk hanyut. Ya, siapa tahu? ***

* Jakarta, 2005

Relung Telinga

Relung Telinga
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo,
Edisi 09/29/2002

DI relung telingamu, pernah kubisikkan kata-kata: Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kemudian kutidurkan tubuhmu dengan kasih-sayang, juga kutiduri tubuhmu penuh kasih-sayang.

Kelembutan warna kamar, wangi sayup sedap malam, dan remang cahaya yang menawarkan candu asmara, membuat waktu terasa panjang. Kita bercinta seperti abad yang diseret perlahan, menuntaskan titik peluh di sekujur pori. Sesudah itu, berkali-kali kubisikkan di relung telingamu: Aku tak akan pernah melupakanmu.

Hampir aku menyebutmu Bunga, karena kutemukan dirimu di tengah lanskap taman yang asri. Mungkin bintangmu aquarius, selalu karib dengan guci di tangan, berjalan sabar di antara perdu dan pohon kembang, menyiramkan air seperti memberi minum anak-anaknya. Namun hampir pula kupanggil dirimu Bulan, sebab ada kemiripan antara wajahmu dengan bundar purnama. Kau mudah tersenyum, bahkan oleh lelucon sederhana. Pernah juga kubayangkan dirimu Gula, setelah berulangkali kuhisap manis rasa bibirmu. Engkau sedikit tersengal. Tampak dadamu naik-turun seperti ombak. Sesudahnya, kauhela nafas panjang dengan mata terpejam, dengan bulu mata bergetar.

Apakah kausimpan janjiku dalam relung telingamu? Aku menyediakan hidupku untukmu. Aku mencintaimu dan bekerja keras dengan perasaan riang. Jiwaku melepuh oleh cinta, dan seluruh hari yang kulalui adalah nyanyian. Rindu yang tak habis terperas. Kasih-sayang yang tak terhalang keterbatasan rahimmu. Melalui rangkaian pemeriksaan yang berlarut-larut, akhirnya inilah keputusan dokter: tak akan menetas seorang bayi melalui persetubuhan kita.

Bisa jadi, ada harapan yang tercerabut. Tapi, untaian malam yang berhias cahaya ranum lampu temaram, ikut mendengar selarik bisik dari bibirku, memasuki relung telingamu: Sampai kapan pun aku terus mencintaimu.

Itulah yang ingin kupatuhi bertahun-tahun. Engkau Bunga, Bulan, sekaligus Gula dalam hidupku. Impian panjang berlarat-larat, wangi hari yang terulur dari sumber fajar, mata-air sungai yang mengalir menempuh tubuh benua. Begitu ringan langkah kuayun, dilepas tatapan matamu dari ambang pintu setiap pagi. Begitu lekas sore merapat, jiwaku terhisap untuk pulang, dijemput rindu di lereng beranda. Aku abai terhadap apa pun yang terjadi sepanjang siang. Mendulang madu atau racun, menampung susu atau airmata.

Namun senja ini, saat hujan ditabur mengakhiri kemarau yang jumawa, sesuatu berkelebat di fokus mataku. Kucium harum parfum yang tak sengaja singgah, dari leher jenjang yang terbuka, pada papasan singkat di tengah kafé. Bagai ada tarikan seksama pada kepalaku untuk menoleh ke arahnya. Kulihat sepintas lambaian scarf yang terjuntai ke punggung. Betis langsing berwarna duku. Sepatu bertumit tinggi yang melangkah ritmis. Kilau polesan jingga pada kuku kelingking. Dan sesudahnya tak pernah kukenali wajah pemilik tubuh semampai itu.

Bisa saja kuurungkan niat untuk keluar dari kafé: toh hujan yang mengguyur di luar cukup kuat menjadi alasan. Trotoar di depan berangsur basah. Langit kehilangan warna biru. Angin seolah-olah ditambah kecepatannya oleh tangan gaib dari ujung perempatan jalan. Tentu saja, jika aku nekad melangkah keluar dengan sisa rasa kopi di lidah, hujan tak akan memilih tempat jatuh di luar tubuhku. Senja terasa semakin kusam oleh gelap awan, dan lampu jalan mulai menyala seperti kerlip bintang yang tersesat.

Di saat yang sama, aku teringat dirimu. Terngiang kata-kata yang kubisikkan di relung telingamu. Aku akan selalu mencintaimu. Setiap huruf menjadi tekstur pada lidahku. Perasaan bimbang menyergap. Apakah salah, jika tiba-tiba kuterima rangsang dari perempuan lain, setelah lima tahun demikian setia? Tak seorang pun sanggup memerangkapku, kecuali dirimu. Kecuali… seseorang yang baru saja melintas.
Aku menahan langkah tepat di depan pintu. Gerimis cukup pekat, seperti anak panah halus yang dilepas ke alam raya setelah lama terhimpun dalam gundukan busur awan. Lincah berhamburan ke atas aspal, menumbuhkan kabut samar di permukaannya. Dan bau apak debu yang tersiram menebar ke udara, tercium dari celah pintu. Suhu panas hotmix yang terpanggang sepanjang siang, terempas dan kuyu. Serupa perasaanku.

Tanganku menyentuh pintu, dan terkejut sewaktu daun pintu itu terbuka karena seseorang menyeruak masuk. Ia laki-laki yang sebagian kemejanya basah. Bisa jadi, semenit yang lalu dia melompat-lompat di atas trotoar. Mencari tempat berteduh. Dan café ini menjadi pilihan. Sementara aku bermaksud meninggalkannya, menembus hujan.

Aku memberi jalan kepada laki-laki yang mengenakan dasi. Butir air bergantungan di ujung-ujung rambutnya. Ia tersenyum bersahabat. Senyum yang sanggup meruntuhkan jantung perempuan. Apakah kedatangannya karena menghindari percik air, atau oleh sebuah janji?

Janji bertemu di sebuah resto yang nyaris padat, bukan hal mustahil. Selepas jam kantor, di ujung bentang hari, dan mungkin bagian dari kencan berkala. Dengan perempuan itukah ia hendak berjumpa? Ada debar yang mendadak sibuk di dada. Meskipun kemungkinan itu satu berbanding jumlah pengunjung.

Adakalanya, peruntungan datang tidak pada waktu yang senggang. Sekali ini ingin kupertaruhkan seluruh intuisi. Namun terlintas di saat yang sama, janjiku di relung telingamu: Percayalah, aku tak akan pernah melupakanmu.

Kumaki diriku sendiri. Ternyata kesetiaan membuatku terpenjara. Mataku mulai panas. Perasaanku terpilin oleh beban duka dan kehilangan. Alangkah mudahnya aku tergoda seruap aroma parfum yang melintas dari leher terbuka. Begitu sulit ditepiskan. Bahkan meresap ke paru-paru. Harum itu merembes ke setiap celah tulang rawan. Aku berusaha keras menukarnya dengan wangi rambutmu sehabis berkeramas. Lima tahun aku setia kepadamu. Lima tahun aku terbelenggu cinta. Sampai sore yang kuanggap bedebah ini datang. Aku, bahkan, tak melihat wajahnya! Yang melintas hampir tanpa jarak, namun luput dari kerling mata. Hanya scarf yang melayang di balik punggungnya.

Kulihat dari kaca jendela, kilat membelah langit mendung. Setengah gila aku disergap bimbang: tetap di kafé atau melangkah ke jalan raya yang basah? Akhirnya kumenangkan pertarungan itu dengan cara mengayunkan kaki ke luar pintu. Rasanya belum sempurna bidang kayu pinus itu menutup kembali, ketika ada suara memanggil.

Aku menoleh dengan kecepatan tak terukur begitu mengenali suara perempuan. Warna scarf yang menggantung di bahunya tak bisa kupungkiri, dia pasti wanita yang berusaha menyingkirkan kesetiaanku. Langkahku terhenti dan menunggu. Tapi sebelum jelas kulihat wajahnya, ia telah masuk kembali. Refleks kuraba saku baju dan celana. Adakah sesuatu tertinggal? Hand phone, pulpen, kacamata, saputangan, sisir, dompet, rokok, … ah, ya! Korek api! Apakah cukup berharga jika kubalik arah demi mengambil korek api senilai lima ribu rupiah? Apakah perempuan dengan scarf ungu itu memanggilku dan bermaksud mengembalikan korek api? Kukira sang tokoh dalam film Another Nine and Half Weeks, jadi sakit juga akibat sebuah scarf milik seseorang di masa lalu.

Ini pasti ilusi! Ini pasti sebuah ikhtiar untuk membuatku lupa padamu. Ini godaan picisan yang tak sebanding dengan cintaku padamu. Percayalah, aku tetap mencintaimu! Lihat, bagaimana aku berlari pulang ke arahmu. Dalam derai gerimis, melompat-lompat di atas teracotta. Menyalip-nyalip di antara deretan mobil yang gelisah dalam antrian traffic jam. Mereka nyaris tak bergerak, dengan kap mesin menguapkan selapis fatamorgana. Suara klakson mulai menyalak di sana-sini. Aku teringat awal film Prince of Tide. Layar lebar yang mampat oleh warna-warna punggung mobil. Ya, hujan yang turun mendadak membuat seluruh pengendara tidak siap.

Di emper toko, kakilima yang tempias, berdiri orang-orang yang enggan basah. Kulewati mereka dengan gegas, karena ingin segera berada di sampingmu. Ingin segera meremas tanganmu. Mungkin mencium pipimu yang masih hangat. Membisikkan kembali ke relung telingamu: Aku selalu mencintaimu. Sekalipun sia-sia.

Namun dalam kondisi seperti ini, amat sulit mendapatkan taxi. Di mana-mana mobil antri. Sopir taxi akan berpikir seratus kali untuk mengangkut penumpang. Kecuali yang sudah terjebak dan tergenang dalam lautan kendaraan. Aku merasa terapung-apung di antara mereka. Menerobos kerumunan. Melesat di bawah curah rinai air. Aku harus terus berlari, dengan iringan rasa cemas. Aku telah cukup lama meninggalkanmu. Dan hampir mengkhianatimu. Biasanya, sebelum matahari terbenam aku telah sampai pada pelukanmu. Aku menyesal telah berjalan terlalu jauh. Sungguh, itu semata karena aku tidak tahu harus melakukan apa. Andaikan kau melihat langkahku yang terhuyung di awal hari, meninggalkan rumah dengan airmata memenuhi pipi...

Hujan mengalir tipis dari langit yang merambat gelap. Aku masih saja tergoda oleh harum parfum di lehernya. Seperti apa wajahnya, tak pernah sanggup kubayangkan. Rambut diikat dan dilipat ke atas, sehingga jenjang lehernya terbuka. Gemulai scarf demikian lembut tergantung di bahunya. Mungkinkah ia mirip Wanda Hamidah atau Reza Artamevia? Atau Penelope Cruz? Atau bukan ketiga-tiganya? Desir halus membuatku terjaga dari pengkhianatan.

Tinggal dua ratus meter letak pintu rumah kita. Aku terus berlari dalam gerimis pekat. Tubuhku mulai menggigil oleh dua hal. Dingin air hujan, dan rasa sesal karena meninggalkanmu sendiri. Nafasku terengah dengan degup jantung yang lekas. Maafkan aku, maafkan aku. Ini tak pantas untukmu. Tentu saja. Karena kepergianku disebabkan peristiwa yang tak terduga. Dadaku terasa mau pecah mengingat ini semua. Entah siapa yang mulai main sembunyi, sampai seluruh rahasia terungkap dini hari.

Tersungkur aku di teras. Tapi tak mungkin memanggilmu dari ambang beranda. Kumasuki pintu rumah dengan dua putaran kunci. Lampu yang menyala membuat ruang tamu jadi benderang. Aku menuju sofa tempat engkau berbaring: masih seperti ketika kutinggalkan pagi tadi. Telentang dengan paras pucat dan mata terkatup.

Entah harus kupanggil apa dirimu saat ini. Bunga layu? Bulan pucat? Gula getir? Airmataku menderas, membaur dengan sisa hujan yang membasahi sejak rambut hingga ujung kaki. Aku berlutut di sisimu dengan tubuh gemetar. Menyentuh pipimu, lenganmu, dadamu, meremas jari-jarimu yang mulai kaku. Ada yang tak kumengerti dari akhir hidupmu. Entah siapa yang mulai main sembunyi. Sesuatu telah merenggutmu dariku dengan cara telengas melalui bagian tubuhmu yang paling ringkih. Luput dari pengetahuanku. Sebab sepanjang lima tahun aku setia padamu, dan menganggap aliran hari adalah nyanyian yang tak pernah putus.

Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris membuat perasaanku berubah. Maafkan aku. Tanpa suara aku terisak. Dengan gamang kurapikan helai rambutmu yang masai menutup pipi.

Memandang relung telingamu, mengingatkan pada film Blue Velvet. Seorang pemuda menemukan sepotong telinga yang mulai dikunjungi semut, di halaman rumput rumah tetangga. Tentu saja aku bukan pemuda itu, yang tatapan matanya memasuki rongga telinga. Aku kekasihmu, belahan jiwamu, yang pernah membisikkan janji setia pada liang rawan itu. Kini aku menunggu kemungkinan lirih gaung suaraku keluar lagi. Karena tak menemukan rongga yang hangat dan penuh denyut untuk menetap. Aku terus menunggu. Berlarut-larut. Sampai akhirnya kudekatkan wajahku, mencium relung telingamu yang dingin dan mulai menerbitkan aroma aneh. Berbisik untuk yang terakhir kali: Aku akan selalu mencintaimu, dan tak akan pernah melupakanmu. ***

Jakarta, 20 September 2002

Tuesday, September 19, 2006

senandung lara

mengapa mengagungkan cinta...
harus ditebus dengan duka lara..
menjaga mendung agar tak segera turun...
mungkin belum sempurna seluruh duka ini...

Tuesday, September 12, 2006

Dariku untukmu II

Let me lie in your arms tonight
So you can love me for the rest of our lives
Let you brighten the way with your eyes
And keep this love we share alive.
Let me feel the tenderness of you heart
With the hope that we will never be apart
honey, it was magical from the start
Cuz we are this painting of art.

This is for you
All my emotion inside
Love that will never die
This is for you
Can't put it in words
You are my world
This is for you.
Let me see how much you care
The love with me you want to share
Splitting with you I cannot bare
Taking that road I will not dare.
Let me know what I mean to you
Cuz I believe that our love is true

Hope that you feel the same way to
And loving you is all I want to do.
Just give me your heart
And I'll hold it tight
All of your love
I'll make it all right.

Monday, September 11, 2006

Dariku Untukmu

aku mendayung waktu bersama sampanmu
melewati masa
berkelit dusta menghadang kepahitan
meratap tak bersuara
berjenjang perahuku laju
diterjang riak air berbuih
laju bergetar tempayan rindu
mengalirlah aku dalam percik dahaga sungai lara...dan pergi bersamanya sungguh haru piluku

Lengkap dalam malam
ada seteguk napas yang hilang
kan kujalin semua senandung rindu yang akan bercerita tentang lukisan perasaan cinta, TENTANG AKU, UNTUK MU menyaingi keindahan bagi lembayung senja, atau semerbak wangi dicelah embun pagi ....

yang karenanya semua merpati enggan mengepakkan sayapnya dalam ketakberdayaan terpanah asmara ...

yang karenanya hati-hati para kesatria luluh, terhempas dan mati menyelimuti duka sang putri

senandung itu akan bercerita TENTANG AKU yang hanya memberikan bahagiaku UNTUK MU hingga tak menyisakan sesuatupun dari keberadaanku
dan mungkin dengan begitu kau akan dapat mengerti aku

Tuesday, September 05, 2006

Cinta itu tumbuh kembali

Terkadang kusulit menemukan jalan
Rasa ingin kucampakkan semua apa yang ada
Tak peduli bila segalanya sia-sia
Terkadang sekilas ku merasa bahagia
Kuakui selama ini kerap terjadi'
Ku harus lekas menghampirimu, itu 'ku tahu
Hampir semua isi batin ini ada padamu.........

Tuesday, August 29, 2006

Bercinta di bawah Rembulan

bercinta di bawah bulan!Di bawah leleh cahayanya yang melumuri langit dan tergenang di atas laut, seperti emas cair yang selalu bergelombang mengikuti tarian ombak. Seperti itu pula tubuhku meliuk mengelilingi tubuhmu, ditumbuhi gairah yang menggelegak setelah bertahun-tahun kuhimpun dengan sabar hingga terlampau sulit dibendung.

Mengingatkan peristiwa desakan air dalam dam raksasa yang hanya dibatasi tanggul rapuh dan meruntuhkannya. Menyebabkan jutaan kubik air tumpah, lalu mengalir dengan kecepatan tak terduga. Merobohkan seluruh benda yang dilintasi, nyaris tanpa peduli. Sebagaimana percintaan yang berlangsung tanpa mempertimbangkan sekitarnya, karena seluruh pori tubuh kita mekar menguapkan aroma syahwat.

Mengaduk-aduk darah yang berlalu-lalang amat gegas, dari jantung ke seluruh tubuh. Melewati jaringan aorta menuju jemari yang meregang. Dari lorong arteri memasuki bagian-bagian tersembunyi. Dan sebaliknya, dari akar-akar rambut kembali ke pusat pembuluh. Membuat napas kita tersengal oleh perebutan antara hasrat dan kesabaran.Oh, mana mungkin ada kesabaran dalam sebuah percintaan yang bergelora?

Tentu tiada yang lebih tabah dari hujan bulan Agustus, bagi percumbuan yang mirip geliat hiu mengitari mangsanya, sebelum mencabik-cabik korban dengan taringnya, sampai menjadi sayatan-sayatan penuh hamburan warna merah. Hanya bedanya, saat ini warna bulan yang menyiram rambutmu menjadi kelebatan-kelebatan cahaya kuning sewaktu kaugoyangkan kepalamu mengikuti irama tubuhku.

Seperti juga api cinta dalam dada kita yang mencapai puncak bara.....

Dan, geliat nyala itulah tubuh kita, yang berputar saling menjepit mirip anyaman rotan....

Bergantian dilahap tatapan bulan, punggungmu dan punggungku yang telanjang.

Di antara siluet masif dua badan saling dekap

Wednesday, August 23, 2006

Rindu dalam sekam

Photobucket

Jika bintang-bintang sudah tidak dapat lagi menemani,

biarlah ku nikmati kesunyian ini …..

Jika kata sudah tak dapat lagi mewakili perasaan ini,

biarlah ku nikmati kehampaan ini …

Ada seikat pelangi di balik airmata

Airmata itu membuat hati bertabur gerimis

Wednesday, August 02, 2006

Perempuan Malam

Perempuan itu selalu muncul saat lembayung diufuk barat. Sesekali dia muncul di antara barisan burung manyar dan gumpalan awan. Tak jarang dia hadir ketika anak-anak kecil berlarian menuju surau. Entahlah..., atau dia diciptakan oleh gumpalan kabut gunung ini.Perempuan senja, begitulah aku menyebutnya. Awalnya, dia muncul ketika senja sedikit mendung. Aku kira hanya bagian dari permainan malam yang sering mencelakakan.

Tapi tidak. Dia benar-benar tercipta begitu saja dan berdiri di hadapanku dengan wajah penuh harapan. Aku tak sepenuhnya mengerti hingga dia membuka sapa. Aku tidak mau ditipu senja dan terpedaya bayangan-bayangan setan yang berkeliaran di pangkal malam hingga dengan setengah memaksa dia mengajakku berkenalan.

Maka, seperti sepasang kekasih, kami menghabiskan waktu malam-malam dengan segala kerinduan yang terasa binal. Aku tidak terlalu peduli apakah dia manusia sungguhan atau roh-roh jahat yang berniat mencelakakan. Aku mulai mengacuhkan. Yang pasti, aku telah menyukainya. Begitu saja

"Persetubuhan tak harus dimulai dengan sebuah tanya kamu siapa, melainkan dengan saling melorotkan apa saja,"

Dia tertawa. Kemudian wajahnya berubah tenang. Setenang malam tanpa awan.

"Bedebah. Tapi kau cantik juga," desisku

"Ajarkan aku mengenal siang," pintanya.

Thursday, November 03, 2005

Your Face Made Me Catch My Breath

can sit here and wonder what would have become of me if you had not turned towards me at that second. Your face made me catch my breath. I felt as if kissed by cool summer rain; my body felt warmed as if by a radiant sun. But it was you.

I look for your mysterious eyes. Are they reflections of your soul? I want to reach out and touch you. I want to know if you feel the same, but my understanding and my soul, cannot encounter yours...

Must I be content to watch you from afar? Where do I go from here? Just say the word and I will be by your side, now and forever...

Your Secret Admirer,

shill
P. S. I love you!