Friday, November 24, 2006

kepak daun di padang sunyi

Ay...., kurindu dekapmu sungguh......
telaga kasihmu ...... mampu musnahkan dahaga yang ada di keseharianku.....

begitu banyak pemuja telagamu ...yang singgah kadang membuatku enggan tuk berbaur........, lebih baik kumati di kesendirian dan kehausan.... ay

Jejak Langkah Shillouette

memandang birunya langit ...., membuat ku mengingatkan semua kenanganku pdamu.....

cinta suci tak perlu kata" ... hanya dengan pandangan mata dan perbuatan membuat kita yakin cinta itu milik kita...

tak perlu dibuat"... wajar apa adanya....,

Tuesday, October 31, 2006

ingin ku mencinta

Aku hanya ingin mencinta…
Tanpa alasan apa-apa…
Tanpa aksara…
Tanpa kata-kata…
Tanpa serangkai bait puisi cinta…

Hanya dengan rasa…
Dengan kasih seutuhnya…
Rindu setulusnya…

Seandainya…
Engkau hadir sebelum dia…

Seandainya…
engkau ada dan dia tiada…
Engkau mencinta…

begitu pun ia…
Dan cinta hadir…Aku…Engkau…Dia…
Cinta yang tak butuh kata…
Cinta yang tak butuh tali pengikat jiwa…

Aku, engkau, dia…
Tak pernah berbeda…
Kita semua mencinta…

(Semoga) tanpa alasan apa-apa…
Biar cinta juga mencinta…
Hanya karena ia ingin… mencinta…

langkah senyap.........

jiwa yang berpendar.......
perlahan senyap.......
jiwa yang terpuruk...
pada palung yang tak berdasar........
ku tak sanggup menghentikan rasa ini.....
sungguh tak sanggup.........
luka dan duka adalah syarat mutlak yang harus kutebus....

mencintaimu seperti memegang bara panas.....
yang dapat menghangatkan jiwa ini....., tapi dapat membakar habis pula ......................

Di sanalah aku..
Menghadap sang persada kembali.
Pulang dalam kesendirian.
Kembali dalam kesunyian.
Untuk mendapatkan senyap

Friday, October 20, 2006

selamat ulang bulan

rasa ini terlalu dalam........
akarnya telah menelusup ke segenap pori-pori tubuhku
tak ada ruang lain selain cinta ini kepadamu...

tinggal jika kau ingin...., pergilah jika kau tak ingin.......

Ajarkan Aku

Ajarkan kutersenyum:
Saat alam bermuram durja,
Saat semesta berduka,
Saat dunia terisak dalam tangisnya…

Ajarkan kumenangis:
Saat angkasa tersenyum bahagia,
Saat cakrawala menari gembira,
Saat persada bersuka…

Ajarkan kuterdiam:
Di tengah keramaian,
Di tengah kebisingan,
Di tengah kegalauan…

Ajarkan kuberteriak:
Dalam keheningan,
Dalam kedamaian,
Dalam kesunyian….

Ajarkan kubercermin:
Pada pantulan hati,
Pada wajah sanubari,
Pada sang mimpi

Ajarkan kubermimpi:
Tentang sebentuk angan,
Tentang sebentuk impian,
Tentang sebentuk harapan…

Ajarkan kuberharap:
Dalam ketidakpastian,
Dalam keraguan,
Dan segala kebimbangan

Ajari aku untuk tetap hidup…




ite

kuingin sepiku

tak ku sebut duka itu
tak kujamah sunyi ini
saat bayangmu datang menyapa
seharusnya hari ini adalah penggenapan ke 60 hari bertautnya perasaan..yang seharusnya bahagia.., menjadi abstrak..
gores-gores sunyi makin tegas
membentuk hamparan savana tanpa oase
jingga mulai menghiasi langit dada
titik air embun serasa enggan datang di malam nanti

sapalah duka

apa lah artinya hubungan jarak jauh........
jika mentari sama diartikan lain.....

selalu banyak kejutan dari hari ke hari...
menyatukan dua kepala memang tak semudah membelah lautan
terlalu banyak ego yang menumpuk
kemarau yang panjang.. hilang oleh hujan sepagian....

terlalu banyak mungkin hati ini terserpih....
mengungkap elegi2 usang.....,
tersusun menjadi plakat2 hidup untaian kalung air mata menjelma menjadi perhiasan terindah yang kan kuberikan padanya

itu air mataku yang sekian lama membatu
mungkin memang aku merindukan duka ini .....
telah lama duka tak memelukku dengan tulus
ahhh..., betapa manisnya lara .., irisan sayatan hati... terasa begitu indah
gelak tawa lara........, manisnya kesedihan... kemana semua itu selama ini
sapalah aku kembali.........kita kembali bersenandung nyanyian sunyi...
hingga saatnya nanti.....

Kabut....., telanlah aku

kerdip mata di kabut sunyi.
makin menggigil di peluk malam...

tambur detak jantung riuh menghiba...
katakan duhai malam...., kuingin membakarmu

Tuesday, October 17, 2006

Katanya

Katanya...
Kataku: aku baik-baik saja...
Katanya: aku tak terlihat baik-baik saja...

Kataku: aku butuh sebatang rokok...
Katanya: merokok tidak baik untuk kesehatan...

Kataku: sebetulnya malam ini aku ingin mabuk...
Katanya: mabuk merusak akal sehat...

Kataku: seharusnya engkau mengerti...
Katanya: seharusnya kau tidak memaksa orang untuk mengerti...

Kataku: terlalu banyak yang terjadi belakangan ini...
Katanya: tinggal bagaimana kau memilih...

Kataku:aku tak bisa menangis...
Katanya: itu karena kau memilih untuk tidak menangis...

Kataku: aku manusia tegar...
Katanya: kau tidak perlu selalu menjadi tegar...

Kataku: ternyata tak se-sederhana yang kupikir...
Katanya: kau membuat segala sesuatunya menjadi rumit...

Kataku: aku yang menjadi korban...
Katanya: betul kau yang menjadi korban?

Kataku:mengapa sekarang?
Katanya: mengapa bukan sekarang?

Kataku: aku kecewa...
Katanya: aku mengerti...

Kataku: karena ini masalah perasaan...
Katanya: sungguh indah kau masih bisa merasakan...

Kataku: aku tidak mengerti...
Katanya: tidak ada yang perlu dimengerti...

Kataku: seandainya bisa kuputar ulang segalanya...
Katanya: kau tetap akan mengambil keputusan yang sama...

Kataku: aku akan baik-baik saja....
Katanya: aku percaya kau akan baik-baik saja....

"Boleh aku menangis sekarang?"
"Tentu saja...."

( akhirnya ku bisa menangis tanpa suara...)

thx to ite...

Tuesday, October 03, 2006

Tetes Hujan Menjadi Abu

Tetes Hujan Menjadi Abu
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Media Indonesia, Edisi 10/02/2005

SUDAH tiba saatnya saya pulang, bisik Andria dari balik jendela kamarnya. Ia gemetar menatap pemandangan yang terjadi di luar. Hujan turun dan setiap tetes airnya berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Bahkan yang memercik ke bibir lantai teras yang dapat diintipnya, juga menjelma abu. Seketika. Tanpa menunggu jeda.

Andria teringat pesan neneknya dalam bahasa Jawa. Yang maknanya kira-kira demikian:
"Jika kamu melihat tetes hujan menjadi abu, segeralah pulang. Itu tanda aku akan kembali kepada Sang Empu. Berilah aku doamu untuk terakhir kali. Dan miliki warisanku yang kelak juga kamu wariskan kepada cucumu."

Pesan yang tak akan ia lupakan. Karena ditulis dalam sebuah kertas dan dibungkus saputangan, yang diserahkan menjelang Andria meninggalkan rumah keluarga di bukit Paninggaran. Andria sejak awal tak berani membuka bekal yang mirip pusaka itu. Meskipun neneknya tak banyak mengutarakan dalam bentuk kata-kata, linangan air mata yang tak sampai mengalir ke pipi keriput itu telah mewakilinya.

Boleh jadi, Andria adalah cucu kesayangan. Tak dapat dimungkiri karena ia anak tunggal dari ibu yang meninggal muda. Sang ayah, menantu nenek, seorang yang sungguh setia. Ia bersitahan untuk tetap menjadi petani dan menggarap kebun yang luas dengan sepasang tangan kekarnya. Otot-ototnya yang bercecabang menonjol di atas kulit berwarna tembaga menunjukkan kekuatan yang terhimpun di dalamnya.

Andria kagum terhadap ayahnya. Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya ia bisa saja pergi dari rumah untuk mencari perempuan lain pengganti istrinya. Ia masih sangat pantas untuk menikah lagi dan mungkin akan memberikan adik-adik tiri bagi Andria. Tetapi tak pernah ia lakukan. Tanpa alasan yang benar-benar jelas, kenapa ia tidak menikah lagi. Karena itu, selama ini, Andria hanya menduga-duga, mungkin cinta ayahnya memang tak mungkin terbelah. Tak tergoda oleh perempuan lain, yang bahkan lebih cantik dari mendiang ibu Andria.

Ketika Andria lepas dari sekolah menengah pertama, ia mulai merasakan ada yang tak beres dengan kesetiaan ayahnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki, dengan nafsu yang umumnya meletup-letup, mampu bersikeras untuk tidak menikah lagi. Apakah batang zakarnya tak sanggup menegang lagi oleh paras cantik atau lekuk tubuh dan bentuk buah dada seorang perempuan? Apakah tak ada desir darah bersilekas setiap kali Andria mencoba melewati ayahnya hanya dengan lilitan handuk setiap habis mandi dari pancuran? Apakah celoteh para perawan iseng yang sengaja beramai-ramai mendahului jalan ayahnya saat menuju sungai tidak menerbitkan khayalan erotis?

Justru karena Andria tahu, bahwa perempuan dapat lebih tabah menahan gejolak nafsunya, dan dibenamkan ke dalam mimpinya, sementara laki-laki akan segera mencari pelampiasan, maka keheranannya tampak membutuhkan jawaban.

"AYAH tak bisa meninggalkan ibumu begitu saja, Andria."

"Ibu sudah meninggal, mungkin hari ini ulang tahun keempat atas kematiannya. Saya kira sudah cukup perkabungan itu."

"Apakah kamu tidak ingin cintamu terhadap ibumu menetap kekal?"

"Ayah jangan menyangsikan cinta saya terhadap Ibu. Meskipun saya mengenalnya hanya beberapa tahun, namun semua yang dilakukan Ibu terhadap saya hampir semua berkesan."

"Apakah kamu ingin memiliki ibu baru yang kita tidak tahu sebesar apa rasa sayangnya terhadapmu?"

"Bukan itu yang saya pikirkan, Ayah. Justru saya ingin Ayah dapat kembali bahagia seperti waktu saya kecil."

"Apakah kamu melihat saat ini Ayah tidak bahagia?"

"Ayah, bukankah saya yang ingin bertanya kepadamu? Bukan sebaliknya. Kenapa Ayah yang selalu meminta jawaban dari saya?"

"Percayalah, Andria. Ayah merasa sangat bahagia. Karena sesungguhnya ibumu tak pernah pergi dari sini."

"Ayah jangan berdusta. Sekarang saya telah duduk di sekolah menengah atas, mulai tahu perasaan-perasaan orang lain. Saya sudah menstruasi sejak dua tahun yang lalu."

"Pengetahuanmu bisa keliru, Andria...."

"Itu karena Ayah mencoba menutupi rasa sedih yang berkepanjangan. Sementara itu, sesungguhnya, kita dapat memulai hidup yang baru, dan menciptakan kebahagiaan yang baru."

"Ah, Ayah jadi heran. Ini desa terpencil. Kamu harus berjalan kaki tiga kilometer untuk sampai ke sekolahmu. Ayah juga yakin, guru-gurumu itu sisa dari jumlah yang telah dipilih oleh sekolah-sekolah di kota. Tetapi kenapa kamu jadi sok tahu? Siapa yang mengajarimu, Andria?"

"Dengan pertanyaan itu, Ayah sepertinya mengharapkan saya tetap bodoh, dan tetap percaya dengan alasan-alasan Ayah yang tak masuk akal."

"Andria! Maafkan kalau Ayah telah membentakmu. Maafkan. Sesungguhnya Ayah ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, tapi tentu tidak sekarang. Sebaiknya saat ini kamu percaya saja kepada jalan yang Ayah pilih...."

"Meskipun saya tetap tak mengerti, saya tak akan mendesak Ayah. Hanya Ayah yang tahu semua yang terbaik buat Ayah. Maafkan Andria, jika pertanyaan-pertanyaan tadi membuat hati Ayah terluka."

"Ayah tahu. Dan kamu juga harus tahu, bahwa Ayah sangat mencintaimu. Seperti Ayah mencintai ibumu. Pergilah tidur. Ayah ingin merokok sebentar."

JEMARI tangan Andria gemetar mencengkeram jeruji, yang melindungi kaca jendela jika sewaktu-waktu ada seorang maling yang memecahkannya untuk mencoba masuk ke dalam kamar. Ia masih menatap tetes-tetes hujan yang seketika menjadi abu begitu menyentuh pelataran atau aspal jalan di depan rumah.

"Sudah tiba saatnya saya pulang," desisnya sendiri.
Andria akan segera melupakan semua rencana hari ini. Ia akan segera menepis janji-janjinya terhadap teman sejawat atau kekasihnya untuk keluar rumah besok hari Minggu. Ini Sabtu yang akan mengubah sejarah. Saat ia melihat sesuatu yang sejak awal tak pernah dipercaya.

Tulisan neneknya itu, yang dibuka dan dibaca justru setelah ia mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Hampir secara tak sengaja. Ketika ia akan membereskan seluruh pakaian dalam lemari yang baru dibelinya, ia menemukan saputangan yang diikat rapi di saku tas yang tak benar-benar dibongkarnya sepanjang ia merantau.

Begitu terpesona ia membaca pesan nenek yang tertulis dengan tinta melepuh, nyaris luntur, di atas kertas yang mulai menguning. Dalam bahasa Jawa. Tapi, karena Andria memang orang Jawa yang lahir dan memiliki masa kecil di pedalaman, ia tidak mengalami kesulitan untuk menangkap artinya.

"Berarti saat ini Nenek sudah saatnya menghadap Tuhan." Ia bergumam sendiri. "Benarkah demikian?" Ia meragukan kesimpulannya. Tapi, sebenarnya, ia lebih meragukan pandangannya terhadap tetes-tetes hujan itu.

Dan yang paling menyedihkan, di rumah tak ada seorang pun yang dapat ditanya: mengapa hujan kali ini berperangai aneh? Sebuah metamorfosa yang tak lazim. Bahkan sepanjang sejarah hidup manusia, rasanya.

"Berarti saya akan pulang tanpa pamit. Kata 'segera' dapat diartikan sebagai tidak ditunda-tunda lagi."
Lantas ia pun berkemas. Ia harus bergerak lekas. Tak perlu membawa banyak pakaian, karena tentu tak akan lama di Paninggaran. Jika memang benar neneknya akan meninggal dunia, atau bahkan telah meninggal dunia, Andria akan segera kembali ke kota setelah tiga hari kenduri. Sebab, meninggal adalah hak semua orang. Jadi Nenek telah mendapatkan haknya, tak perlu lagi disesali atau ditangisi berlarut-larut.

Entah kenapa, mata Andria mendadak terasa panas. Lalu mengalir air bening dari kelopak matanya. Kesedihan yang serta-merta meruyak dalam dadanya telah membuatnya menangis. Ia tiba-tiba menyadari, bahwa dirinya adalah cucu kesayangan. Buktinya, ia mendapatkan pesan khusus dari neneknya. Ya, melalui tetes-tetes hujan itu. Yang serentak menjadi abu begitu menyentuh tanah. Pelataran dan kebun yang diguyur hujan sama sekali tidak basah.

DIKUNCINYA pintu kamar. Andria hanya menuliskan pesan ringkas dengan Bahasa Indonesia di atas kertas yang diletakkan di meja makan. Dengan cara itu ia pamit kepada pemilik rumah. Dengan cara itu pula ia berharap pemilik rumah akan menyampaikan pesan kepada teman sejawatnya yang akan lewat di depan rumahnya untuk bekerja pada shift sore.

Tentu Andria tidak menuliskan kata-kata: "Saya melihat tetes-tetes hujan menjadi abu, sehingga saya harus segera pulang ke gunung." Kata-kata itu hanya akan membuat pemilik rumah bingung. Dan akan menganggapnya sebagai cara minggat tanpa membayar sewa kamar yang tak santun.
Hujan reda ketika Andria mulai bergegas ke jalan raya. Tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk tetap pulang ke Paninggaran. Pesan singkat itu sudah cukup untuk membuatnya berangkat. Di ujung gang ia mencegat sebuah angkutan kota yang akan membawanya ke terminal bus antarkota-antarprovinsi.

Ketika sebuah bus jurusan Pekalongan sedang merayap di mulut terminal, Andria tidak berminat menunggu lagi. Ia yakin, sebelum musim Lebaran, tentu tak akan berdesak-desakan. Ia pun masuk ke dalam bus yang memiliki kondektur begitu ramah sampai tangannya mendekap erat bokongnya, seperti takut Andria akan jatuh.

Dilihatnya bangku kosong dekat pintu belakang. Ia pun duduk dan merasa tenang, karena bus itu tidak lagi berhenti mencari penumpang. Perjalanan akan memakan waktu sekitar sembilan sampai sepuluh jam, tapi bukan lagi menjadi masalah. Karena memang tak ada jalan lain, kecuali jika hendak mengikuti jadwal kereta api.

Persis setelah melewati Bekasi, kondektur menarik ongkos. Mungkin karena tugas mencari penumpang sepanjang perjalanan sebelum masuk jalan tol telah selesai, dan dengan demikian, ia dapat menganggur duduk di bangku paling belakang. Memang benar, perjalanan demikian lancar, membuat semua penumpang tertidur lelap.

Saat itulah kembali turun hujan. Mula-mula Andria tidak memperhatikan, karena ia pun mulai mengantuk. Namun, ketika teringat sebab-sebab kepulangannya, serta-merta hilang rasa kantuknya. Ia menegakkan punggung, sehingga matanya dapat memandang jalan raya yang sedang dilalui bus itu.

Astaga! Setiap tetes hujan yang menimpa aspal serentak menjadi abu. Tetes-tetes yang jatuh beribu-ribu dari langit itu tidak membuat jalan basah. Justru kini menebar sebagai debu kelabu terbawa angin yang menderas oleh kecepatan bus. Mirip abu rokok yang dijentikkan sembarangan.

"Tak mungkin!" bisik Andria terkesiap. Di balik jendela rumahnya, boleh saja pemandangan muskil itu terlihat olehnya. Tapi, di jalan raya ini.

Sekarang saatnya mencari saksi. Di dalam bus ini setidaknya terdapat dua puluh orang penumpang. Andria dapat memastikan, apakah benar yang dilihatnya itu? Tetes-tetes hujan menjadi abu!

Tapi ia melihat seluruh penumpang sedang terlelap. Ia menunggu sampai ada di antara mereka yang bergerak, sehingga ia punya alasan untuk bertanya. Tapi selama hampir sepuluh menit tak ada yang menunjukkan gerakan orang yang terjaga. Kepala mereka rebah ke sandaran. Ada yang terbungkuk-bungkuk, atau tergolek ke samping, terayun-ayun oleh gerakan mobil yang melaju.

Orang yang duduk di samping Andria, bahkan mendengkur lantaran begitu pulas. Siku Andria mencoba menusuk ke tulang rusuknya, pura-pura tak sengaja, namun tak menghasilkan apa-apa. Kepalanya mencoba menengok ke belakang, siapa tahu kondektur sedang terjaga. Ia kecewa, karena lelaki yang telah sengaja memegang pantatnya itu juga sedang tidur dengan mulut setengah terbuka.

Apakah sopirnya juga tidur? Tiba-tiba Andria terperanjat dan cemas.

"Tak mungkin!" desisnya. "Tak mungkin saya berteriak dari sini, memanggil sopir untuk menanyakan apa yang dilihatnya...."

Sopir itu begitu tekun mengendarai bus. Seolah-olah dia yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh penumpang, agar masing-masing sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Tapi... tentu mata sopir itu melihat hujan yang turun membasahi jalan raya yang sedang ditempuhnya.
Membasahi! Itulah yang seharusnya dilakukan oleh hujan terhadap hamparan tujuannya. Tapi, seluruh yang dilihat oleh Andria melalui jendela di sampingnya: tetes-tetes hujan itu menjadi abu. Akhirnya Andria putus asa. Ia tak berani berteriak karena akan membangunkan semua penumpang dan mungkin akan memancing kemarahan mereka yang merasa terganggu kenikmatannya.

"APA yang telah terjadi, Ayah?" Andria menghambur ke dalam pelukan laki-laki bertangan kekar itu. Ia telah melihat tenda terpasang di halaman rumah.

"Nenekmu meninggal dunia. Kemarin siang." Ayahnya membelai rambut anaknya. "Panjatkan doamu yang terakhir. Ia disemayamkan di ruang tengah. Sepagi mungkin, nanti, akan dikuburkan dekat makam ibumu."

"Maaf, saya datang terlambat. Tadi lama menunggu kendaraan di Kedung Wuni."

"Kamu datang tepat pada waktunya, Nak. Ayah justru mau bertanya, siapa yang memberi tahu kamu?"

Andria memandang ayahnya, tapi tak mengucapkan apa-apa. Ia segera masuk ke dalam rumah, dan bersimpuh di depan jenazah neneknya. Beberapa orang yang sedang mengaji di sekitarnya sedikit menepi. Andria membaca doa, lalu mencoba mengamati wajah neneknya yang teduh.

"Sesuai dengan pesanmu, saya telah melihatnya. Karena itu saya segera pulang," Andria menggerakkan bibir tanpa suara. Seperti khawatir akan membangunkan perempuan tua itu kembali.

Sementara pagi hampir tiba. Malam lembab itu telah menyadarkan Andria pada tubuhnya yang terasa ringsek karena perjalanan panjang yang dilaluinya. Ia kembali menuju tempat ayahnya duduk, dan minum kopi yang sudah dingin di meja ayahnya.

"Kini Nenek telah meninggal. Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?" tanya Andria.

"Pertanyaan Ayah belum kamu jawab. Siapa yang memberitahumu bahwa Nenek meninggal?"

Andria mengeluarkan kertas lusuh dari sakunya. Memberikan kepada ayahnya untuk dibaca. Laki-laki itu terdiam lama tak berkata-kata. Sampai Andria kembali memecah kesenyapan.

"Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?"

"Entahlah," Ayahnya menundukkan kepala. "Ayah tak dapat mengkhianati ibumu yang tetap setia menemani Ayah tidur, dan selalu menyeduh kopi pagi-pagi lalu meletakkannya di kamar..."

"Maksud Ayah?" Andria menyentuh tangan ayahnya. Ia tak yakin dengan pendengarannya.

"Entahlah...."
Apakah Andria harus mempercayai kata-kata ayahnya? Seperti harapan Andria agar ayahnya percaya padanya tentang tetes-tetes hujan yang menjadi abu?

Jakarta, 21 September 2005

Randu Rekah

Randu Rekah
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Suara Karya, Edisi 07/24/2005
--------------------------------------------------------------------------------

"AKU akan melamarmu di musim randu rekah. Saat itu langit di atas kampung kita dikelilingi kapuk yang melayang-layang seperti burung putih yang larut oleh hembusan angin," kata Sanusi pada suatu senja di tepi sungai. Sepasang kakinya terjulur ke tebing yang memiliki undakan batu. Sesekali air memercik dingin. Melepaskan serpih lumpur yang mengering di atas matakaki.

"Aku tak ingin mendengar janji apa pun." Tami memandang langit yang mulai dijalari warna kesumba. Ia mulai membayangkan gumpalan kapuk yang melepaskan diri dari kulit buah randu, bukan terjun merendah, melainkan terbang semakin jauh. Dan Tami sungguh takut jika cinta Sanusi suatu saat menjauh.

"Aku serius, Tami. Coba pandang mataku." Wajahnya mendekat. Tami tahu dari hembusan nafasnya yang menyapu pipi.

"Sudah kubilang, aku tak ingin mendengar janji apa pun." Tami bertahan tidak menoleh. Reranting randu di atas kepala mereka nampak seperti coretan tangan seorang arsitek. Batang kehijauan menjulang, meraih gumpalan awan.

"Janjiku tidak berlebihan. Kukira, itu tak sampai tahun depan." Selanjutnya Tami merasakan hidung Sanusi menyentuh lingir dagunya. Rambutnya berkibar oleh angin yang berhembus sepanjang sungai. Suara kericik air yang membentur batu memperdengarkan komposisi musik.

Dan Sanusi menciumnya. Memagut kelopak bibirnya begitu dalam. Sedikit terengah oleh nafsu. Dalam percakapan, Sanusi menyebutnya sebagai hasrat dari cinta. Tami tahu. Tami sangat paham karena ia pun memiliki rasa cinta pada lelaki itu. Kangen akan memenuhi rongga dadanya setiap kali Sanusi tidak berada di depannya ketika sedang dibutuhkan. Misalnya ketika Tami ingin menyampaikan perkembangan perasaan ibunya terhadap Sanusi, sementara lelaki itu sedang berada di pos penampungan getah karet. Dan baru sore hari dapat ia berikan kabar itu, tetapi tentu dengan letupan perasaan yang mulai layu.

Sanusi masih menciumnya. Lidahnya kadang-kadang menerobos ke dalam celah bibir Tami. Ia suka tersengal, tapi sedikit disembunyikan. Tami ingin memeluk erat tubuh Sanusi dengan kedua tangan lalu rebahan atau bergulingan di atas rumput. Jika sesekali kehilangan kendali, mungkin akan merosot di tubir tebing hingga tubuh mereka tercelup bersama-sama ke dalam sungai. Mungkin menjadi adegan yang sangat menarik: bercinta sekaligus berenang melawan arus air.

Tapi tidak. Sanusi telah menyelesaikan ciuman panjang itu. Memandang wajah perempuan pujaannya itu dengan mata yang berbinar. Tami sungguh terharu melihat api semangat menyala di sana. Pasti tekadmu untuk melamarku begitu tinggi, pikir Tami. Seraya membayangkan sebuah pelaminan, sebuah ranjang, dan sebuah percintaan yang bebas. Sayangnya, mengapa Sanusi menjanjikan waktunya? Padahal Tami ingin semuanya mengalir dan terjadi begitu saja. Seperti sungai di depannya. Tami tidak ingin kecewa jika sewaktu-waktu janji itu meleset.

"Bagaimana?" Sanusi masih mengharap jawaban Tami.

"Terserah kamu," Tami hanya tersenyum. Selalu tidak tega membuat perasaan lelaki itu patah.

"Apa maksudmu dengan terserah?" kejar Sanusi. "Tidak bermaksud meragukan janjiku, bukan?"

"Aku percaya. Bukankah selama ini aku percaya padamu?" Tami memandangi mata Sanusi. Ingin menangkap sesuatu yang mungkin tersembunyi.

"Ya," akhirnya Sanusi menghela nafas seperti melepaskan beban. Ia kembali duduk di samping gadis itu. Matanya memandang langit, seperti ingin menyambung pemandangan berhias reranting pohon randu yang tadi terputus oleh peristiwa ciuman.

"Mari kita pulang," ajak Tami. Sebentar lagi senja berakhir.
* * *

DAN kini, senja yang cantik di tepi sungai itu, tidak lagi ditemui Tami. Ia memang bisa mengunjungi tempat yang sama, seperti sekarang ini, tapi tidak dengan kehadiran Sanusi. Tidak dengan hembusan nafasnya di sekitar pipi. Tidak dengan ucapannya yang mengandung banyak harapan.

Sungai itu masih juga mengalir ke arah yang sama. Bening dan mempertontonkan samar-samar kontur di dasarnya. Kadang-kadang Tami dapat berkaca jika membungkukkan badan sambil berpegangan pada batang petai cina yang tumbuh di tebing sungai. Kadang-kadang dapat dilihatnya buah-buah randu yang bergelatungan seperti kantung tidur berwarna hijau, dan awan-awan berserak sebagai latar.

Tapi, seperti ucapan seorang filosof, sungai hari ini berbeda dengan sungai kemarin dan esok pagi. Air itu tidak diam. Mereka terus mengalir dari hulu ke hilir. Yang ditemui Tami sekarang, andaikan bisa bicara, tak mungkin menjadi saksi janji Sanusi senja itu. Kini dia hanya sanggup mengenang sendiri. Entah kenapa, merasa sangat bahagia jika yang dikenangnya adalah peristiwa manis sebelum Sanusi menghilang. Tami akan menyebutnya sebagai nostalgia bersama bekas kekasih.

"Aku akan mengirim surat setiap pekan. Aku punya waktu pada setiap Sabtu malam atau Minggu pagi. Pada hari Senin, saat istirahat, aku akan pergi ke kantor pos yang tak jauh dari proyek."

Hari Jumat pada pekan yang sama, biasanya Tami menerima surat Sanusi. Perasaannya bahagia, karena tulisan Sanusi mengandung cinta. Mengandung rasa kangen yang dalam. Tami sanggup mengulang baca beberapa kali dan tak ingin jauh-jauh menyimpannya. Tami juga bersemangat membalasnya. Meskipun kemudian harus naik sepeda ke arah kecamatan sepanjang lima kilometer. Di samping kantor Camat ada sebuah kubus kecil - Tami menyebutnya demikian karena sebagai sebuah kantor tampak terlalu mungil - dengan pintu dan lisplank berwarna oranye. Di situlah Tami menyerahkan surat yang sudah dimasukkan ke dalam amplop. Dibelinya prangko dan benar-benar menunggu sampai petugas pos yang ramah itu memalu tera ke atas prangko dan memasukkan surat itu ke semacam keranjang. Tentu, petugas pos itu tidak akan alpa membawa karung kecil berisi kiriman surat dan paket ke pusat kabupaten pada sore harinya. Tentu.

Sebelum surat itu benar-benar tiba di tangan Sanusi, ia selalu membayangkan lelaki pujaannya menerima dan membacanya dengan perasaan tak sabar. Sampai-sampai tidak menunggu keringatnya kering atau bahkan mandi terlebih dulu. Ah, pasti kertas surat yang semula bersih menjadi ternoda karena tangannya tidak sempat dicuci sepulang kerja.

"Mungkin saat Lebaran nanti aku tidak bisa pulang, karena gedung yang kami bangun harus segera selesai. Aku akan nitip paket saja kepada saudaraku yang pulang kampung. Ya, sekedar hadiah Lebaran. Mudah-mudahan setelah bulan Syawal, aku benar-benar memiliki libur panjang."

Tami membaca surat Sanusi di awal Ramadhan itu dengan rasa sedih. Seperti ada yang tercerabut. Di saat semua orang berbahagia karena berkumpul dengan handai-tolan, kekasihnya tidak muncul. Seolah Sanusi telah merencanakan untuk tidak muncul. Meskipun itu bukan kehendakmu, batin Tami, tapi aku menganggapnya seperti itu. Kau telah merencanakan untuk tidak muncul! Mudah-mudahan suratmu kali ini mengandung canda.

Sebenarnya Tami dulu ingin menghalang-halangi kepergian Sanusi. Sebagai bekas mahasiswa Fakultas Pertanian yang drop-out karena lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kampus sehingga menyia-nyiakan batas toleransi perkuliahan itu, ia lebih dibutuhkan di desanya ini. Sebuah wilayah di pinggang gunung yang sangat cocok untuk bertanam cengkeh dan kopi, selain pohon karet dan pinus. Toh Sanusi tidak terlampau bodoh. Bahkan dalam berbicara tampak luas perbendaharaan katanya. Terlihat kaya dengan gagasan meskipun kadang-kadang terasa aneh. Namun Tami yakin, Sanusi mampu mengumpulkan para petani dan pemilik kebun untuk sedikit belajar mengenai cara menanam bibit yang baik. Atau tentang bagaimana cara menyiasati musim yang sering tidak teratur.

Entah mengapa, lelaki itu justru tertarik dengan suasana pembangunan di kota. Di Jakarta pula. Katanya, ia ingin mempersembahkan tarikan ototnya dengan turut membangun gedung berlantai puluhan, yang tingginya tidak kepalang. Ketinggian yang akan membuat orang singunen, gemetar dan berkunang-kunang.

"Aku senang membaca suratmu, Tami. Kamu banyak memiliki cerita lucu, yang ketika aku di dusun tak pernah muncul. Aku jadi sering merasa kangen. Tapi perjuangan memang tidak ringan, tidak sederhana, dan untuk mencapai keinginan selalu diperlukan semacam pengorbanan."

Tami suka menyeka airmata setiap perasaannya tersentuh haru. Begitu besar hasrat Sanusi untuk menjadi seorang yang akan dihormati karena memiliki banyak uang. Tapi dia tak pernah bertanya kepadaku, bisik Tami, apakah yang sesungguhnya aku butuhkan? Dia tak pernah tahu, bahwa aku lebih bangga ketika dia bersedia mengembangkan desanya sendiri. Menggarap hutan atau kebun yang pasti membuatnya lebih sehat. Tanpa gelar insinyur bukan berarti tidak memiliki kecakapan setingkat insinyur.

Ternyata benar, segala janji Sanusi segera menjadi serpih ditiup angin. Setelah Lebaran tiada kabar dia akan pulang menjenguk Tami. Acap kali ibunya menanyakan kepastian lelaki itu akan melamar, atau setidaknya pulang menunjukkan diri bahwa masih setia terhadap kekasihnya. Diam-diam, di sudut malam, ketika hawa dingin meresap ke sela anyaman dinding rumah, disaksikan bulan yang sedang purnama, Tami menangis. Dia merasa lelah dengan keadaan seperti itu. Kesepian seorang diri selama berbulan-bulan. Ia menyesal telah mendengar janji Sanusi. Karena yang terjadi kemudian adalah yang selama ini ditakutkan.

"Sanusi berangkat ke Malaysia," kata Sucipto beberapa hari yang lalu. "Kebetulan aku bertemu di Tebet."

Mata Tami terbelalak, namun bibirnya terkatup gemetar.

"Apakah tidak meminta ijinmu?" tanya Sucipto kemudian.

Jangankan meminta ijin atau pendapat, bahkan memberi kabar pun tidak. Mata Tami terasa panas. Tapi tak mungkin seketika itu juga mencurahkan perasaan sedihnya kepada Sucipto.

Memang, awalnya, Sanusi tinggal beberapa minggu di rumah Sucipto sebelum mendapatkan dan mampu membayar kontrakan sendiri. Sebagai pedagang Batik Pekalongan, Sucipto telah memiliki banyak pelanggan di Jakarta. Alamatnya yang cukup dikenal di 'pedalaman' Warung Buncit sering menjadi tujuan surat yang datang dari desa di pinggang gunung ini.

Termasuk surat Tami untuk Sanusi!

Barangkali surat Tami yang terakhir, yang mengabarkan bahwa orangtuanya telah berulangkali menanyakan niat Sanusi untuk melamarnya, tidak sempat diterimanya.

Tami menggeleng karena Sucipto masih memandangnya. "Aku menunggu suratnya, Kang. Lama tak kunjung tiba."

"Boleh jadi, surat kamu yang terakhir itu tak pernah sampai ke tangannya." Sucipto ikut cemas. "Aku suruh Bilung untuk mengantarkan ke kontrakannya. Tapi sehari kemudian aku justru bertemu dengannya sudah siap-siap berangkat bersama rombongan yang aku kurang mengenalnya."

* * *

RANDU telah rekah. Angin semilir membuat kelopak kapuk itu berayun, sebelum menebarkan serpih putih. Sudah saatnya dipetik, dikupas, dan dipisahkan antara kapuk dengan biji kelentengnya. Lalu dihimpun dalam karung-karung.

Tami selalu menutup hidungnya yang indah setiap kali menangani kapuk-kapuk itu. Tidak seperti Nurimah atau Titi, yang tak pernah menjadi bersin-bersin oleh hembusan serat kapuk yang beterbangan.

Ayahnya sedang membaca koran yang terlambat dua hari tiba di desa ini. Konflik antara Malaysia dan Indonesia tampil sebagai berita utama, berkaitan dengan tenaga kerja ilegal yang harus pulang segera ke tanah air. Tidak secara baik-baik, melainkan terusir!

Tami pura-pura tak mendengar suara ayahnya yang sengaja membaca dengan keras. Ia hanya heran kepada Sanusi yang terpikat kebun kelapa sawit di negeri orang, sementara di desa ini masih ada hamparan tanah berbukit yang ditumbuhi pohon karet, damar, pinus, cengkeh, kopi, dan berbagai buah-buahan. Apa yang telah membuat mata lelaki itu nanar dan perasaannya kepincut? Sedangkan di sini ada seorang kekasih setia yang boleh dicium di tepi sungai, sambil memandangi langit senja dengan kapuk randu yang melayang-layang.

Perasaan nyeri itulah yang kemudian membawa kaki Tami berlari ke arah kebun di belakang rumah. Menerobos pagar yang terbuat dari batang-batang berduri pohon salak, menyusuri jalan setapak yang semakin menurun. Rerimbun petai cina, pohon durian, dan perdu dilalui dengan serabutan. Sampailah Tami di tempat landai tepi sungai, tempat dia biasa duduk-duduk bersama Sanusi lebih dua tahun yang lalu.

Dan Tami teringat janji Sanusi. Janji yang sesungguhnya tak ingin didengarnya. Karena saat ini, sambil berbaring ia bisa memandang buah-buah randu pecah merekah, memamerkan gumpalan kapuk. Sementara seseorang yang berjanji akan melamarnya justru tak terdengar kabar-beritanya. Kecuali tentang nasib buruk tenaga kerja Indonesia tak resmi yang sedang kalang-kabut berkemas dan harus pulang. Adakah Sanusi termasuk di antara mereka?

Tami menggeleng seraya tersenyum pahit. Mungkin akan terasa nyaman jika perlahan-lahan kakinya yang menggantung di lereng sungai itu dicelupkan ke dalam air yang mengalir gemericik. Dingin arus bening itu akan meresap ke kulit. Lalu perlahan-lahan pula ia pejamkan mata, agar tak tampak pemandangan yang membuatnya selalu teringat masa-masa indah dulu. Kemudian, siapa tahu dasar sungai itu berminat menarik tubuhnya untuk hanyut. Ya, siapa tahu? ***

* Jakarta, 2005

Relung Telinga

Relung Telinga
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo,
Edisi 09/29/2002

DI relung telingamu, pernah kubisikkan kata-kata: Percayalah, aku akan selalu mencintaimu. Kemudian kutidurkan tubuhmu dengan kasih-sayang, juga kutiduri tubuhmu penuh kasih-sayang.

Kelembutan warna kamar, wangi sayup sedap malam, dan remang cahaya yang menawarkan candu asmara, membuat waktu terasa panjang. Kita bercinta seperti abad yang diseret perlahan, menuntaskan titik peluh di sekujur pori. Sesudah itu, berkali-kali kubisikkan di relung telingamu: Aku tak akan pernah melupakanmu.

Hampir aku menyebutmu Bunga, karena kutemukan dirimu di tengah lanskap taman yang asri. Mungkin bintangmu aquarius, selalu karib dengan guci di tangan, berjalan sabar di antara perdu dan pohon kembang, menyiramkan air seperti memberi minum anak-anaknya. Namun hampir pula kupanggil dirimu Bulan, sebab ada kemiripan antara wajahmu dengan bundar purnama. Kau mudah tersenyum, bahkan oleh lelucon sederhana. Pernah juga kubayangkan dirimu Gula, setelah berulangkali kuhisap manis rasa bibirmu. Engkau sedikit tersengal. Tampak dadamu naik-turun seperti ombak. Sesudahnya, kauhela nafas panjang dengan mata terpejam, dengan bulu mata bergetar.

Apakah kausimpan janjiku dalam relung telingamu? Aku menyediakan hidupku untukmu. Aku mencintaimu dan bekerja keras dengan perasaan riang. Jiwaku melepuh oleh cinta, dan seluruh hari yang kulalui adalah nyanyian. Rindu yang tak habis terperas. Kasih-sayang yang tak terhalang keterbatasan rahimmu. Melalui rangkaian pemeriksaan yang berlarut-larut, akhirnya inilah keputusan dokter: tak akan menetas seorang bayi melalui persetubuhan kita.

Bisa jadi, ada harapan yang tercerabut. Tapi, untaian malam yang berhias cahaya ranum lampu temaram, ikut mendengar selarik bisik dari bibirku, memasuki relung telingamu: Sampai kapan pun aku terus mencintaimu.

Itulah yang ingin kupatuhi bertahun-tahun. Engkau Bunga, Bulan, sekaligus Gula dalam hidupku. Impian panjang berlarat-larat, wangi hari yang terulur dari sumber fajar, mata-air sungai yang mengalir menempuh tubuh benua. Begitu ringan langkah kuayun, dilepas tatapan matamu dari ambang pintu setiap pagi. Begitu lekas sore merapat, jiwaku terhisap untuk pulang, dijemput rindu di lereng beranda. Aku abai terhadap apa pun yang terjadi sepanjang siang. Mendulang madu atau racun, menampung susu atau airmata.

Namun senja ini, saat hujan ditabur mengakhiri kemarau yang jumawa, sesuatu berkelebat di fokus mataku. Kucium harum parfum yang tak sengaja singgah, dari leher jenjang yang terbuka, pada papasan singkat di tengah kafé. Bagai ada tarikan seksama pada kepalaku untuk menoleh ke arahnya. Kulihat sepintas lambaian scarf yang terjuntai ke punggung. Betis langsing berwarna duku. Sepatu bertumit tinggi yang melangkah ritmis. Kilau polesan jingga pada kuku kelingking. Dan sesudahnya tak pernah kukenali wajah pemilik tubuh semampai itu.

Bisa saja kuurungkan niat untuk keluar dari kafé: toh hujan yang mengguyur di luar cukup kuat menjadi alasan. Trotoar di depan berangsur basah. Langit kehilangan warna biru. Angin seolah-olah ditambah kecepatannya oleh tangan gaib dari ujung perempatan jalan. Tentu saja, jika aku nekad melangkah keluar dengan sisa rasa kopi di lidah, hujan tak akan memilih tempat jatuh di luar tubuhku. Senja terasa semakin kusam oleh gelap awan, dan lampu jalan mulai menyala seperti kerlip bintang yang tersesat.

Di saat yang sama, aku teringat dirimu. Terngiang kata-kata yang kubisikkan di relung telingamu. Aku akan selalu mencintaimu. Setiap huruf menjadi tekstur pada lidahku. Perasaan bimbang menyergap. Apakah salah, jika tiba-tiba kuterima rangsang dari perempuan lain, setelah lima tahun demikian setia? Tak seorang pun sanggup memerangkapku, kecuali dirimu. Kecuali… seseorang yang baru saja melintas.
Aku menahan langkah tepat di depan pintu. Gerimis cukup pekat, seperti anak panah halus yang dilepas ke alam raya setelah lama terhimpun dalam gundukan busur awan. Lincah berhamburan ke atas aspal, menumbuhkan kabut samar di permukaannya. Dan bau apak debu yang tersiram menebar ke udara, tercium dari celah pintu. Suhu panas hotmix yang terpanggang sepanjang siang, terempas dan kuyu. Serupa perasaanku.

Tanganku menyentuh pintu, dan terkejut sewaktu daun pintu itu terbuka karena seseorang menyeruak masuk. Ia laki-laki yang sebagian kemejanya basah. Bisa jadi, semenit yang lalu dia melompat-lompat di atas trotoar. Mencari tempat berteduh. Dan café ini menjadi pilihan. Sementara aku bermaksud meninggalkannya, menembus hujan.

Aku memberi jalan kepada laki-laki yang mengenakan dasi. Butir air bergantungan di ujung-ujung rambutnya. Ia tersenyum bersahabat. Senyum yang sanggup meruntuhkan jantung perempuan. Apakah kedatangannya karena menghindari percik air, atau oleh sebuah janji?

Janji bertemu di sebuah resto yang nyaris padat, bukan hal mustahil. Selepas jam kantor, di ujung bentang hari, dan mungkin bagian dari kencan berkala. Dengan perempuan itukah ia hendak berjumpa? Ada debar yang mendadak sibuk di dada. Meskipun kemungkinan itu satu berbanding jumlah pengunjung.

Adakalanya, peruntungan datang tidak pada waktu yang senggang. Sekali ini ingin kupertaruhkan seluruh intuisi. Namun terlintas di saat yang sama, janjiku di relung telingamu: Percayalah, aku tak akan pernah melupakanmu.

Kumaki diriku sendiri. Ternyata kesetiaan membuatku terpenjara. Mataku mulai panas. Perasaanku terpilin oleh beban duka dan kehilangan. Alangkah mudahnya aku tergoda seruap aroma parfum yang melintas dari leher terbuka. Begitu sulit ditepiskan. Bahkan meresap ke paru-paru. Harum itu merembes ke setiap celah tulang rawan. Aku berusaha keras menukarnya dengan wangi rambutmu sehabis berkeramas. Lima tahun aku setia kepadamu. Lima tahun aku terbelenggu cinta. Sampai sore yang kuanggap bedebah ini datang. Aku, bahkan, tak melihat wajahnya! Yang melintas hampir tanpa jarak, namun luput dari kerling mata. Hanya scarf yang melayang di balik punggungnya.

Kulihat dari kaca jendela, kilat membelah langit mendung. Setengah gila aku disergap bimbang: tetap di kafé atau melangkah ke jalan raya yang basah? Akhirnya kumenangkan pertarungan itu dengan cara mengayunkan kaki ke luar pintu. Rasanya belum sempurna bidang kayu pinus itu menutup kembali, ketika ada suara memanggil.

Aku menoleh dengan kecepatan tak terukur begitu mengenali suara perempuan. Warna scarf yang menggantung di bahunya tak bisa kupungkiri, dia pasti wanita yang berusaha menyingkirkan kesetiaanku. Langkahku terhenti dan menunggu. Tapi sebelum jelas kulihat wajahnya, ia telah masuk kembali. Refleks kuraba saku baju dan celana. Adakah sesuatu tertinggal? Hand phone, pulpen, kacamata, saputangan, sisir, dompet, rokok, … ah, ya! Korek api! Apakah cukup berharga jika kubalik arah demi mengambil korek api senilai lima ribu rupiah? Apakah perempuan dengan scarf ungu itu memanggilku dan bermaksud mengembalikan korek api? Kukira sang tokoh dalam film Another Nine and Half Weeks, jadi sakit juga akibat sebuah scarf milik seseorang di masa lalu.

Ini pasti ilusi! Ini pasti sebuah ikhtiar untuk membuatku lupa padamu. Ini godaan picisan yang tak sebanding dengan cintaku padamu. Percayalah, aku tetap mencintaimu! Lihat, bagaimana aku berlari pulang ke arahmu. Dalam derai gerimis, melompat-lompat di atas teracotta. Menyalip-nyalip di antara deretan mobil yang gelisah dalam antrian traffic jam. Mereka nyaris tak bergerak, dengan kap mesin menguapkan selapis fatamorgana. Suara klakson mulai menyalak di sana-sini. Aku teringat awal film Prince of Tide. Layar lebar yang mampat oleh warna-warna punggung mobil. Ya, hujan yang turun mendadak membuat seluruh pengendara tidak siap.

Di emper toko, kakilima yang tempias, berdiri orang-orang yang enggan basah. Kulewati mereka dengan gegas, karena ingin segera berada di sampingmu. Ingin segera meremas tanganmu. Mungkin mencium pipimu yang masih hangat. Membisikkan kembali ke relung telingamu: Aku selalu mencintaimu. Sekalipun sia-sia.

Namun dalam kondisi seperti ini, amat sulit mendapatkan taxi. Di mana-mana mobil antri. Sopir taxi akan berpikir seratus kali untuk mengangkut penumpang. Kecuali yang sudah terjebak dan tergenang dalam lautan kendaraan. Aku merasa terapung-apung di antara mereka. Menerobos kerumunan. Melesat di bawah curah rinai air. Aku harus terus berlari, dengan iringan rasa cemas. Aku telah cukup lama meninggalkanmu. Dan hampir mengkhianatimu. Biasanya, sebelum matahari terbenam aku telah sampai pada pelukanmu. Aku menyesal telah berjalan terlalu jauh. Sungguh, itu semata karena aku tidak tahu harus melakukan apa. Andaikan kau melihat langkahku yang terhuyung di awal hari, meninggalkan rumah dengan airmata memenuhi pipi...

Hujan mengalir tipis dari langit yang merambat gelap. Aku masih saja tergoda oleh harum parfum di lehernya. Seperti apa wajahnya, tak pernah sanggup kubayangkan. Rambut diikat dan dilipat ke atas, sehingga jenjang lehernya terbuka. Gemulai scarf demikian lembut tergantung di bahunya. Mungkinkah ia mirip Wanda Hamidah atau Reza Artamevia? Atau Penelope Cruz? Atau bukan ketiga-tiganya? Desir halus membuatku terjaga dari pengkhianatan.

Tinggal dua ratus meter letak pintu rumah kita. Aku terus berlari dalam gerimis pekat. Tubuhku mulai menggigil oleh dua hal. Dingin air hujan, dan rasa sesal karena meninggalkanmu sendiri. Nafasku terengah dengan degup jantung yang lekas. Maafkan aku, maafkan aku. Ini tak pantas untukmu. Tentu saja. Karena kepergianku disebabkan peristiwa yang tak terduga. Dadaku terasa mau pecah mengingat ini semua. Entah siapa yang mulai main sembunyi, sampai seluruh rahasia terungkap dini hari.

Tersungkur aku di teras. Tapi tak mungkin memanggilmu dari ambang beranda. Kumasuki pintu rumah dengan dua putaran kunci. Lampu yang menyala membuat ruang tamu jadi benderang. Aku menuju sofa tempat engkau berbaring: masih seperti ketika kutinggalkan pagi tadi. Telentang dengan paras pucat dan mata terkatup.

Entah harus kupanggil apa dirimu saat ini. Bunga layu? Bulan pucat? Gula getir? Airmataku menderas, membaur dengan sisa hujan yang membasahi sejak rambut hingga ujung kaki. Aku berlutut di sisimu dengan tubuh gemetar. Menyentuh pipimu, lenganmu, dadamu, meremas jari-jarimu yang mulai kaku. Ada yang tak kumengerti dari akhir hidupmu. Entah siapa yang mulai main sembunyi. Sesuatu telah merenggutmu dariku dengan cara telengas melalui bagian tubuhmu yang paling ringkih. Luput dari pengetahuanku. Sebab sepanjang lima tahun aku setia padamu, dan menganggap aliran hari adalah nyanyian yang tak pernah putus.

Ingin kuusir kenyataan. Namun dalam pelarianku yang penuh duka lara, seorang perempuan tak dikenal nyaris membuat perasaanku berubah. Maafkan aku. Tanpa suara aku terisak. Dengan gamang kurapikan helai rambutmu yang masai menutup pipi.

Memandang relung telingamu, mengingatkan pada film Blue Velvet. Seorang pemuda menemukan sepotong telinga yang mulai dikunjungi semut, di halaman rumput rumah tetangga. Tentu saja aku bukan pemuda itu, yang tatapan matanya memasuki rongga telinga. Aku kekasihmu, belahan jiwamu, yang pernah membisikkan janji setia pada liang rawan itu. Kini aku menunggu kemungkinan lirih gaung suaraku keluar lagi. Karena tak menemukan rongga yang hangat dan penuh denyut untuk menetap. Aku terus menunggu. Berlarut-larut. Sampai akhirnya kudekatkan wajahku, mencium relung telingamu yang dingin dan mulai menerbitkan aroma aneh. Berbisik untuk yang terakhir kali: Aku akan selalu mencintaimu, dan tak akan pernah melupakanmu. ***

Jakarta, 20 September 2002

Tuesday, September 19, 2006

senandung lara

mengapa mengagungkan cinta...
harus ditebus dengan duka lara..
menjaga mendung agar tak segera turun...
mungkin belum sempurna seluruh duka ini...

Tuesday, September 12, 2006

Dariku untukmu II

Let me lie in your arms tonight
So you can love me for the rest of our lives
Let you brighten the way with your eyes
And keep this love we share alive.
Let me feel the tenderness of you heart
With the hope that we will never be apart
honey, it was magical from the start
Cuz we are this painting of art.

This is for you
All my emotion inside
Love that will never die
This is for you
Can't put it in words
You are my world
This is for you.
Let me see how much you care
The love with me you want to share
Splitting with you I cannot bare
Taking that road I will not dare.
Let me know what I mean to you
Cuz I believe that our love is true

Hope that you feel the same way to
And loving you is all I want to do.
Just give me your heart
And I'll hold it tight
All of your love
I'll make it all right.

Monday, September 11, 2006

Dariku Untukmu

aku mendayung waktu bersama sampanmu
melewati masa
berkelit dusta menghadang kepahitan
meratap tak bersuara
berjenjang perahuku laju
diterjang riak air berbuih
laju bergetar tempayan rindu
mengalirlah aku dalam percik dahaga sungai lara...dan pergi bersamanya sungguh haru piluku

Lengkap dalam malam
ada seteguk napas yang hilang
kan kujalin semua senandung rindu yang akan bercerita tentang lukisan perasaan cinta, TENTANG AKU, UNTUK MU menyaingi keindahan bagi lembayung senja, atau semerbak wangi dicelah embun pagi ....

yang karenanya semua merpati enggan mengepakkan sayapnya dalam ketakberdayaan terpanah asmara ...

yang karenanya hati-hati para kesatria luluh, terhempas dan mati menyelimuti duka sang putri

senandung itu akan bercerita TENTANG AKU yang hanya memberikan bahagiaku UNTUK MU hingga tak menyisakan sesuatupun dari keberadaanku
dan mungkin dengan begitu kau akan dapat mengerti aku

Tuesday, September 05, 2006

Cinta itu tumbuh kembali

Terkadang kusulit menemukan jalan
Rasa ingin kucampakkan semua apa yang ada
Tak peduli bila segalanya sia-sia
Terkadang sekilas ku merasa bahagia
Kuakui selama ini kerap terjadi'
Ku harus lekas menghampirimu, itu 'ku tahu
Hampir semua isi batin ini ada padamu.........

Tuesday, August 29, 2006

Bercinta di bawah Rembulan

bercinta di bawah bulan!Di bawah leleh cahayanya yang melumuri langit dan tergenang di atas laut, seperti emas cair yang selalu bergelombang mengikuti tarian ombak. Seperti itu pula tubuhku meliuk mengelilingi tubuhmu, ditumbuhi gairah yang menggelegak setelah bertahun-tahun kuhimpun dengan sabar hingga terlampau sulit dibendung.

Mengingatkan peristiwa desakan air dalam dam raksasa yang hanya dibatasi tanggul rapuh dan meruntuhkannya. Menyebabkan jutaan kubik air tumpah, lalu mengalir dengan kecepatan tak terduga. Merobohkan seluruh benda yang dilintasi, nyaris tanpa peduli. Sebagaimana percintaan yang berlangsung tanpa mempertimbangkan sekitarnya, karena seluruh pori tubuh kita mekar menguapkan aroma syahwat.

Mengaduk-aduk darah yang berlalu-lalang amat gegas, dari jantung ke seluruh tubuh. Melewati jaringan aorta menuju jemari yang meregang. Dari lorong arteri memasuki bagian-bagian tersembunyi. Dan sebaliknya, dari akar-akar rambut kembali ke pusat pembuluh. Membuat napas kita tersengal oleh perebutan antara hasrat dan kesabaran.Oh, mana mungkin ada kesabaran dalam sebuah percintaan yang bergelora?

Tentu tiada yang lebih tabah dari hujan bulan Agustus, bagi percumbuan yang mirip geliat hiu mengitari mangsanya, sebelum mencabik-cabik korban dengan taringnya, sampai menjadi sayatan-sayatan penuh hamburan warna merah. Hanya bedanya, saat ini warna bulan yang menyiram rambutmu menjadi kelebatan-kelebatan cahaya kuning sewaktu kaugoyangkan kepalamu mengikuti irama tubuhku.

Seperti juga api cinta dalam dada kita yang mencapai puncak bara.....

Dan, geliat nyala itulah tubuh kita, yang berputar saling menjepit mirip anyaman rotan....

Bergantian dilahap tatapan bulan, punggungmu dan punggungku yang telanjang.

Di antara siluet masif dua badan saling dekap

Wednesday, August 23, 2006

Rindu dalam sekam

Photobucket

Jika bintang-bintang sudah tidak dapat lagi menemani,

biarlah ku nikmati kesunyian ini …..

Jika kata sudah tak dapat lagi mewakili perasaan ini,

biarlah ku nikmati kehampaan ini …

Ada seikat pelangi di balik airmata

Airmata itu membuat hati bertabur gerimis

Wednesday, August 02, 2006

Perempuan Malam

Perempuan itu selalu muncul saat lembayung diufuk barat. Sesekali dia muncul di antara barisan burung manyar dan gumpalan awan. Tak jarang dia hadir ketika anak-anak kecil berlarian menuju surau. Entahlah..., atau dia diciptakan oleh gumpalan kabut gunung ini.Perempuan senja, begitulah aku menyebutnya. Awalnya, dia muncul ketika senja sedikit mendung. Aku kira hanya bagian dari permainan malam yang sering mencelakakan.

Tapi tidak. Dia benar-benar tercipta begitu saja dan berdiri di hadapanku dengan wajah penuh harapan. Aku tak sepenuhnya mengerti hingga dia membuka sapa. Aku tidak mau ditipu senja dan terpedaya bayangan-bayangan setan yang berkeliaran di pangkal malam hingga dengan setengah memaksa dia mengajakku berkenalan.

Maka, seperti sepasang kekasih, kami menghabiskan waktu malam-malam dengan segala kerinduan yang terasa binal. Aku tidak terlalu peduli apakah dia manusia sungguhan atau roh-roh jahat yang berniat mencelakakan. Aku mulai mengacuhkan. Yang pasti, aku telah menyukainya. Begitu saja

"Persetubuhan tak harus dimulai dengan sebuah tanya kamu siapa, melainkan dengan saling melorotkan apa saja,"

Dia tertawa. Kemudian wajahnya berubah tenang. Setenang malam tanpa awan.

"Bedebah. Tapi kau cantik juga," desisku

"Ajarkan aku mengenal siang," pintanya.