Tuesday, October 03, 2006

Tetes Hujan Menjadi Abu

Tetes Hujan Menjadi Abu
Cerpen: Kurnia Effendi
Sumber: Media Indonesia, Edisi 10/02/2005

SUDAH tiba saatnya saya pulang, bisik Andria dari balik jendela kamarnya. Ia gemetar menatap pemandangan yang terjadi di luar. Hujan turun dan setiap tetes airnya berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Bahkan yang memercik ke bibir lantai teras yang dapat diintipnya, juga menjelma abu. Seketika. Tanpa menunggu jeda.

Andria teringat pesan neneknya dalam bahasa Jawa. Yang maknanya kira-kira demikian:
"Jika kamu melihat tetes hujan menjadi abu, segeralah pulang. Itu tanda aku akan kembali kepada Sang Empu. Berilah aku doamu untuk terakhir kali. Dan miliki warisanku yang kelak juga kamu wariskan kepada cucumu."

Pesan yang tak akan ia lupakan. Karena ditulis dalam sebuah kertas dan dibungkus saputangan, yang diserahkan menjelang Andria meninggalkan rumah keluarga di bukit Paninggaran. Andria sejak awal tak berani membuka bekal yang mirip pusaka itu. Meskipun neneknya tak banyak mengutarakan dalam bentuk kata-kata, linangan air mata yang tak sampai mengalir ke pipi keriput itu telah mewakilinya.

Boleh jadi, Andria adalah cucu kesayangan. Tak dapat dimungkiri karena ia anak tunggal dari ibu yang meninggal muda. Sang ayah, menantu nenek, seorang yang sungguh setia. Ia bersitahan untuk tetap menjadi petani dan menggarap kebun yang luas dengan sepasang tangan kekarnya. Otot-ototnya yang bercecabang menonjol di atas kulit berwarna tembaga menunjukkan kekuatan yang terhimpun di dalamnya.

Andria kagum terhadap ayahnya. Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya ia bisa saja pergi dari rumah untuk mencari perempuan lain pengganti istrinya. Ia masih sangat pantas untuk menikah lagi dan mungkin akan memberikan adik-adik tiri bagi Andria. Tetapi tak pernah ia lakukan. Tanpa alasan yang benar-benar jelas, kenapa ia tidak menikah lagi. Karena itu, selama ini, Andria hanya menduga-duga, mungkin cinta ayahnya memang tak mungkin terbelah. Tak tergoda oleh perempuan lain, yang bahkan lebih cantik dari mendiang ibu Andria.

Ketika Andria lepas dari sekolah menengah pertama, ia mulai merasakan ada yang tak beres dengan kesetiaan ayahnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki, dengan nafsu yang umumnya meletup-letup, mampu bersikeras untuk tidak menikah lagi. Apakah batang zakarnya tak sanggup menegang lagi oleh paras cantik atau lekuk tubuh dan bentuk buah dada seorang perempuan? Apakah tak ada desir darah bersilekas setiap kali Andria mencoba melewati ayahnya hanya dengan lilitan handuk setiap habis mandi dari pancuran? Apakah celoteh para perawan iseng yang sengaja beramai-ramai mendahului jalan ayahnya saat menuju sungai tidak menerbitkan khayalan erotis?

Justru karena Andria tahu, bahwa perempuan dapat lebih tabah menahan gejolak nafsunya, dan dibenamkan ke dalam mimpinya, sementara laki-laki akan segera mencari pelampiasan, maka keheranannya tampak membutuhkan jawaban.

"AYAH tak bisa meninggalkan ibumu begitu saja, Andria."

"Ibu sudah meninggal, mungkin hari ini ulang tahun keempat atas kematiannya. Saya kira sudah cukup perkabungan itu."

"Apakah kamu tidak ingin cintamu terhadap ibumu menetap kekal?"

"Ayah jangan menyangsikan cinta saya terhadap Ibu. Meskipun saya mengenalnya hanya beberapa tahun, namun semua yang dilakukan Ibu terhadap saya hampir semua berkesan."

"Apakah kamu ingin memiliki ibu baru yang kita tidak tahu sebesar apa rasa sayangnya terhadapmu?"

"Bukan itu yang saya pikirkan, Ayah. Justru saya ingin Ayah dapat kembali bahagia seperti waktu saya kecil."

"Apakah kamu melihat saat ini Ayah tidak bahagia?"

"Ayah, bukankah saya yang ingin bertanya kepadamu? Bukan sebaliknya. Kenapa Ayah yang selalu meminta jawaban dari saya?"

"Percayalah, Andria. Ayah merasa sangat bahagia. Karena sesungguhnya ibumu tak pernah pergi dari sini."

"Ayah jangan berdusta. Sekarang saya telah duduk di sekolah menengah atas, mulai tahu perasaan-perasaan orang lain. Saya sudah menstruasi sejak dua tahun yang lalu."

"Pengetahuanmu bisa keliru, Andria...."

"Itu karena Ayah mencoba menutupi rasa sedih yang berkepanjangan. Sementara itu, sesungguhnya, kita dapat memulai hidup yang baru, dan menciptakan kebahagiaan yang baru."

"Ah, Ayah jadi heran. Ini desa terpencil. Kamu harus berjalan kaki tiga kilometer untuk sampai ke sekolahmu. Ayah juga yakin, guru-gurumu itu sisa dari jumlah yang telah dipilih oleh sekolah-sekolah di kota. Tetapi kenapa kamu jadi sok tahu? Siapa yang mengajarimu, Andria?"

"Dengan pertanyaan itu, Ayah sepertinya mengharapkan saya tetap bodoh, dan tetap percaya dengan alasan-alasan Ayah yang tak masuk akal."

"Andria! Maafkan kalau Ayah telah membentakmu. Maafkan. Sesungguhnya Ayah ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, tapi tentu tidak sekarang. Sebaiknya saat ini kamu percaya saja kepada jalan yang Ayah pilih...."

"Meskipun saya tetap tak mengerti, saya tak akan mendesak Ayah. Hanya Ayah yang tahu semua yang terbaik buat Ayah. Maafkan Andria, jika pertanyaan-pertanyaan tadi membuat hati Ayah terluka."

"Ayah tahu. Dan kamu juga harus tahu, bahwa Ayah sangat mencintaimu. Seperti Ayah mencintai ibumu. Pergilah tidur. Ayah ingin merokok sebentar."

JEMARI tangan Andria gemetar mencengkeram jeruji, yang melindungi kaca jendela jika sewaktu-waktu ada seorang maling yang memecahkannya untuk mencoba masuk ke dalam kamar. Ia masih menatap tetes-tetes hujan yang seketika menjadi abu begitu menyentuh pelataran atau aspal jalan di depan rumah.

"Sudah tiba saatnya saya pulang," desisnya sendiri.
Andria akan segera melupakan semua rencana hari ini. Ia akan segera menepis janji-janjinya terhadap teman sejawat atau kekasihnya untuk keluar rumah besok hari Minggu. Ini Sabtu yang akan mengubah sejarah. Saat ia melihat sesuatu yang sejak awal tak pernah dipercaya.

Tulisan neneknya itu, yang dibuka dan dibaca justru setelah ia mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal. Hampir secara tak sengaja. Ketika ia akan membereskan seluruh pakaian dalam lemari yang baru dibelinya, ia menemukan saputangan yang diikat rapi di saku tas yang tak benar-benar dibongkarnya sepanjang ia merantau.

Begitu terpesona ia membaca pesan nenek yang tertulis dengan tinta melepuh, nyaris luntur, di atas kertas yang mulai menguning. Dalam bahasa Jawa. Tapi, karena Andria memang orang Jawa yang lahir dan memiliki masa kecil di pedalaman, ia tidak mengalami kesulitan untuk menangkap artinya.

"Berarti saat ini Nenek sudah saatnya menghadap Tuhan." Ia bergumam sendiri. "Benarkah demikian?" Ia meragukan kesimpulannya. Tapi, sebenarnya, ia lebih meragukan pandangannya terhadap tetes-tetes hujan itu.

Dan yang paling menyedihkan, di rumah tak ada seorang pun yang dapat ditanya: mengapa hujan kali ini berperangai aneh? Sebuah metamorfosa yang tak lazim. Bahkan sepanjang sejarah hidup manusia, rasanya.

"Berarti saya akan pulang tanpa pamit. Kata 'segera' dapat diartikan sebagai tidak ditunda-tunda lagi."
Lantas ia pun berkemas. Ia harus bergerak lekas. Tak perlu membawa banyak pakaian, karena tentu tak akan lama di Paninggaran. Jika memang benar neneknya akan meninggal dunia, atau bahkan telah meninggal dunia, Andria akan segera kembali ke kota setelah tiga hari kenduri. Sebab, meninggal adalah hak semua orang. Jadi Nenek telah mendapatkan haknya, tak perlu lagi disesali atau ditangisi berlarut-larut.

Entah kenapa, mata Andria mendadak terasa panas. Lalu mengalir air bening dari kelopak matanya. Kesedihan yang serta-merta meruyak dalam dadanya telah membuatnya menangis. Ia tiba-tiba menyadari, bahwa dirinya adalah cucu kesayangan. Buktinya, ia mendapatkan pesan khusus dari neneknya. Ya, melalui tetes-tetes hujan itu. Yang serentak menjadi abu begitu menyentuh tanah. Pelataran dan kebun yang diguyur hujan sama sekali tidak basah.

DIKUNCINYA pintu kamar. Andria hanya menuliskan pesan ringkas dengan Bahasa Indonesia di atas kertas yang diletakkan di meja makan. Dengan cara itu ia pamit kepada pemilik rumah. Dengan cara itu pula ia berharap pemilik rumah akan menyampaikan pesan kepada teman sejawatnya yang akan lewat di depan rumahnya untuk bekerja pada shift sore.

Tentu Andria tidak menuliskan kata-kata: "Saya melihat tetes-tetes hujan menjadi abu, sehingga saya harus segera pulang ke gunung." Kata-kata itu hanya akan membuat pemilik rumah bingung. Dan akan menganggapnya sebagai cara minggat tanpa membayar sewa kamar yang tak santun.
Hujan reda ketika Andria mulai bergegas ke jalan raya. Tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk tetap pulang ke Paninggaran. Pesan singkat itu sudah cukup untuk membuatnya berangkat. Di ujung gang ia mencegat sebuah angkutan kota yang akan membawanya ke terminal bus antarkota-antarprovinsi.

Ketika sebuah bus jurusan Pekalongan sedang merayap di mulut terminal, Andria tidak berminat menunggu lagi. Ia yakin, sebelum musim Lebaran, tentu tak akan berdesak-desakan. Ia pun masuk ke dalam bus yang memiliki kondektur begitu ramah sampai tangannya mendekap erat bokongnya, seperti takut Andria akan jatuh.

Dilihatnya bangku kosong dekat pintu belakang. Ia pun duduk dan merasa tenang, karena bus itu tidak lagi berhenti mencari penumpang. Perjalanan akan memakan waktu sekitar sembilan sampai sepuluh jam, tapi bukan lagi menjadi masalah. Karena memang tak ada jalan lain, kecuali jika hendak mengikuti jadwal kereta api.

Persis setelah melewati Bekasi, kondektur menarik ongkos. Mungkin karena tugas mencari penumpang sepanjang perjalanan sebelum masuk jalan tol telah selesai, dan dengan demikian, ia dapat menganggur duduk di bangku paling belakang. Memang benar, perjalanan demikian lancar, membuat semua penumpang tertidur lelap.

Saat itulah kembali turun hujan. Mula-mula Andria tidak memperhatikan, karena ia pun mulai mengantuk. Namun, ketika teringat sebab-sebab kepulangannya, serta-merta hilang rasa kantuknya. Ia menegakkan punggung, sehingga matanya dapat memandang jalan raya yang sedang dilalui bus itu.

Astaga! Setiap tetes hujan yang menimpa aspal serentak menjadi abu. Tetes-tetes yang jatuh beribu-ribu dari langit itu tidak membuat jalan basah. Justru kini menebar sebagai debu kelabu terbawa angin yang menderas oleh kecepatan bus. Mirip abu rokok yang dijentikkan sembarangan.

"Tak mungkin!" bisik Andria terkesiap. Di balik jendela rumahnya, boleh saja pemandangan muskil itu terlihat olehnya. Tapi, di jalan raya ini.

Sekarang saatnya mencari saksi. Di dalam bus ini setidaknya terdapat dua puluh orang penumpang. Andria dapat memastikan, apakah benar yang dilihatnya itu? Tetes-tetes hujan menjadi abu!

Tapi ia melihat seluruh penumpang sedang terlelap. Ia menunggu sampai ada di antara mereka yang bergerak, sehingga ia punya alasan untuk bertanya. Tapi selama hampir sepuluh menit tak ada yang menunjukkan gerakan orang yang terjaga. Kepala mereka rebah ke sandaran. Ada yang terbungkuk-bungkuk, atau tergolek ke samping, terayun-ayun oleh gerakan mobil yang melaju.

Orang yang duduk di samping Andria, bahkan mendengkur lantaran begitu pulas. Siku Andria mencoba menusuk ke tulang rusuknya, pura-pura tak sengaja, namun tak menghasilkan apa-apa. Kepalanya mencoba menengok ke belakang, siapa tahu kondektur sedang terjaga. Ia kecewa, karena lelaki yang telah sengaja memegang pantatnya itu juga sedang tidur dengan mulut setengah terbuka.

Apakah sopirnya juga tidur? Tiba-tiba Andria terperanjat dan cemas.

"Tak mungkin!" desisnya. "Tak mungkin saya berteriak dari sini, memanggil sopir untuk menanyakan apa yang dilihatnya...."

Sopir itu begitu tekun mengendarai bus. Seolah-olah dia yang paling bertanggung jawab terhadap seluruh penumpang, agar masing-masing sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Tapi... tentu mata sopir itu melihat hujan yang turun membasahi jalan raya yang sedang ditempuhnya.
Membasahi! Itulah yang seharusnya dilakukan oleh hujan terhadap hamparan tujuannya. Tapi, seluruh yang dilihat oleh Andria melalui jendela di sampingnya: tetes-tetes hujan itu menjadi abu. Akhirnya Andria putus asa. Ia tak berani berteriak karena akan membangunkan semua penumpang dan mungkin akan memancing kemarahan mereka yang merasa terganggu kenikmatannya.

"APA yang telah terjadi, Ayah?" Andria menghambur ke dalam pelukan laki-laki bertangan kekar itu. Ia telah melihat tenda terpasang di halaman rumah.

"Nenekmu meninggal dunia. Kemarin siang." Ayahnya membelai rambut anaknya. "Panjatkan doamu yang terakhir. Ia disemayamkan di ruang tengah. Sepagi mungkin, nanti, akan dikuburkan dekat makam ibumu."

"Maaf, saya datang terlambat. Tadi lama menunggu kendaraan di Kedung Wuni."

"Kamu datang tepat pada waktunya, Nak. Ayah justru mau bertanya, siapa yang memberi tahu kamu?"

Andria memandang ayahnya, tapi tak mengucapkan apa-apa. Ia segera masuk ke dalam rumah, dan bersimpuh di depan jenazah neneknya. Beberapa orang yang sedang mengaji di sekitarnya sedikit menepi. Andria membaca doa, lalu mencoba mengamati wajah neneknya yang teduh.

"Sesuai dengan pesanmu, saya telah melihatnya. Karena itu saya segera pulang," Andria menggerakkan bibir tanpa suara. Seperti khawatir akan membangunkan perempuan tua itu kembali.

Sementara pagi hampir tiba. Malam lembab itu telah menyadarkan Andria pada tubuhnya yang terasa ringsek karena perjalanan panjang yang dilaluinya. Ia kembali menuju tempat ayahnya duduk, dan minum kopi yang sudah dingin di meja ayahnya.

"Kini Nenek telah meninggal. Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?" tanya Andria.

"Pertanyaan Ayah belum kamu jawab. Siapa yang memberitahumu bahwa Nenek meninggal?"

Andria mengeluarkan kertas lusuh dari sakunya. Memberikan kepada ayahnya untuk dibaca. Laki-laki itu terdiam lama tak berkata-kata. Sampai Andria kembali memecah kesenyapan.

"Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?"

"Entahlah," Ayahnya menundukkan kepala. "Ayah tak dapat mengkhianati ibumu yang tetap setia menemani Ayah tidur, dan selalu menyeduh kopi pagi-pagi lalu meletakkannya di kamar..."

"Maksud Ayah?" Andria menyentuh tangan ayahnya. Ia tak yakin dengan pendengarannya.

"Entahlah...."
Apakah Andria harus mempercayai kata-kata ayahnya? Seperti harapan Andria agar ayahnya percaya padanya tentang tetes-tetes hujan yang menjadi abu?

Jakarta, 21 September 2005

No comments:

Post a Comment