Saturday, February 19, 2011

Sore Selepas Hujan


Aku menatap bumi basah di bawah kakiku. Menikmati gerimis sisa hujan sore ini. Kurapatkan jaketku melawan dingin yang tiba-tiba menusuk. Jaket pemberianmu lima tahun lalu, selepas hujan di suatu senja. Bahkan hangatnya kurasa masih sama dengan hangat hari itu.

“Biar hangat,” ucapmu pendek sambil memasangkan jaket kesayanganmu di tubuhku yang menggigil kedinginan. Aku tersenyum menatap mata teduhmu. Hangat tubuhmu serasa mengalir sampai pembuluh darahku. Menghentikan gemeretuk gigiku setelah ditampar hujan sepanjang sore ini. Sore, yang – entah mengapa—tak ingin sedetikpun kuganti dengan malam.
“Aku suka hujan,” katamu singkat.
“Kenapa? Bukankah hujan itu sepi dan dingin?” ujarku sembari menatap mata teduhmu. Entahlah, menatap matamu selalu menghadirkan debar halus di dadaku.
“Bagiku, hujan itu harapan. Hidup tanpa harapan bagai berjalan tanpa tujuan,” lagi-lagi kau menatapku, kau tambahkan pula sesungging senyum di bibirmu. Ahh, senyummu membuat debar halus itu menjadi ombak di dadaku.
“Dan sore selepas hujan, adalah sore terbaik sepanjang hidupku. Syahdu, menenangkan, menyisakan malam yang indah dan tenang.” Kamu diam menatap langit. “Hujan memberi harapan pada pelangi. Tanpa hujan, pelangi tak akan muncul.” Pelan-pelan kautolehkan kepalamu, dan mata teduhmu lagi-lagi menatapku.
“Kamu, hujan untuk pelangiku,” senyummu mengakhiri sore itu. Meninggalkan debur ombak yang tak kunjung diam di dadaku.

***
Dingin terasa semakin menusuk. Jaketmu mulai tak mempan mengusir dingin itu. Dingin yang memilukan, sepilu hatiku sore ini. Sore selepas hujan.
“Kujemput kamu besok sore, selepas hujan.” Ucapmu sambil mengacak rambutku yang basah. Masih kuingat kata-katamu sore itu.
Hujan pun perlahan turun. Semakin menderas. Bukan dari langit, tapi dari pelupuk mataku.
Ratusan sore selepas hujan telah kulewati untuk menunggumu. Lima musim hujan aku menunggu. Tapi kamu tak juga menjemputku. Pelangimu tak pernah muncul lagi, meski hujan terus menyapa. Setiap saat, setiap waktu. Hujan telah mengambilmu dariku.
Hujan – bagiku – adalah harapan, yang dingin dan sepi. Sedingin sore ini. Sore selepas hujan. Tanpamu.
***
Lirih kudengar sebait lagu di kejauhan, mengiringi langkahku meninggalkanmu. Sendirian, di tempat peristirahatanmu yang abadi.

Rinai hujan basahi aku
Temani sepi yang mengendap
Kala aku mengingatmu
Dan semua saat manis itu…
(Utopia – hujan)

By priechantz

sumber

“Kamu, hujan untuk pelangiku,”

(Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan.)



No comments:

Post a Comment