Tuesday, March 01, 2011

Ajeng: Gadis Kecil dalam Hujan


Kemarin sejak pagi hujan turun dengan derasnya seolah tak mau berhenti mencurahkan seluruh airnya ke bumi. Sore hari ketika hujan mulai reda, ada sesosok makhluk mungil berdiri di depan rumahku. Tubuhnya yang kurus basah dan menggigil kedinginan.

Aku tak tahu apa maksud kedatangannya ketika kemudian samar-samar aku mendengar lirih suaranya yang bernyanyi entah lagu apa, sambil menepuk-nepukkan tangan untuk mengiringi nyanyiannya. Tuhan, anak itu sedang mengamen, ditengah cuaca yang tidak bersahabat seperti ini. Kutaksir usianya sepantar dengan anakku yang nomor enam, sekitar lima tahunan.

“Nama kamu siapa?”, tanyaku.

Malu-malu ia menjawab, lagi-lagi dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Ajeng, Tante...”

“Ajeng, kamu udah sekolah ? Kelas berapa ?” tanyaku lagi.

“Kelas satu, tante”.

“Rumah kamu di mana ?”

“Di komplek belakang,”

Dia hanya setahun lebih tua dari anak bungsuku.

Kubuatkan segelas teh manis hangat untuknya. Kusuguhkan pisang goreng yang baru saja aku angkat dari penggorengan.

“Cepat diminum, biar badan kamu hangat. Nanti kamu sakit,” ujarku.

Tanpa banyak kata dia menurut. Sekali teguk teh manis itu tandas seketika. Disambung dengan gerakan tangannya yang gesit meraih sepotong pisang goreng dan menggigitnya pelan-pelan. Menikmati setiap gigitan demi gigitan. Hmmm...

“Baju kamu basah, kita ganti baju yuk”, ajakku ketika kulihat ia sudah menghabiskan potongan terakhir pisang goreng yang ada di tangannya. Cepat aku pilih baju si bungsu dari dalam lemari. Baju yang kira-kira masih pantas diberikan kepadanya. Aku buka pakaiannya dan kuganti dengan pakaian yang kering.

Setelah itu mengalirlah cerita dari mulut mungilnya.

Dia selalu mengamen setiap pulang sekolah, putar-putar di komplekku sampai maghrib kemudian pulang. Dia melakukan itu semua karena bapaknya sakit asma akut, ibunya bekerja sebagai pembantu di komplekku juga. Setiap Maghrib ajeng akan datang menjemput ibunya di rumah majikannya dan mereka pulang ke rumah.

“Sehari kamu dapat berapa, Jeng ?”, tanyaku penasaran.

“Kadang nyampe lima ribu, Tante. Uangnya buat ajeng sekolah, sisanya Ajeng kasih ke ibu.” Sahutnya polos.

Aku hanya bisa memandangi Ajeng menghabiskan lagi sepotong pisang goreng. Anak-anakku ribut mengajak Ajeng mengobrol, khas anak-anak. Kelihatannya Ajeng pun senang.

Ketika Maghrib tiba, aku antar ia menjemput ibunya. Kumasukkan sisa pisang goreng ke dalam kantung plastik dan kuberikan kepada Ajeng untuk dibawa pulang. Tak lupa kuselipkan selembar sepuluhribuan ketangannya. Satu-satunya lembaran uang yang tersisa dalam kantung bajuku.

Ibunya berkali-kali mengucapkan terima kasih ketika aku ada di hadapannya. Aku hanya tersenyum jengah. Tak lupa kuminta alamat rumah mereka, siapa tahu kelak suatu saat aku bisa mengunjungi keluarga mereka.

Akhirnya, ditengah udara yang begitu dingin sisa hujan sore tadi, aku melangkah pulang ke rumah dengan perasaan yang nyaris tak bisa kugambarkan. Sedih dan haru berkecamuk menjadi satu dalam rongga dada.

Ajeng..

Dia hanya setahun lebih tua dari anak bungsuku. Namun keadaan memaksanya melakukan sesuatu yang belum pantas ia kerjakan. Berjuang untuk membiayai sekolahnya sendiri, mengumpulkan receh demi receh yang ia dapat dari hasil mengamen.

Sementara itu, berapa banyak yang dihabiskan oleh anak-anakku hanya untuk jajan ? untuk membeli mainan yang sekali pakai langsung dibuang ? untuk membeli chiki, permen, atau makanan-makanan berpengawet lainnya ?

Tak terasa, aku jadi ingin menangis. Aku malu... aku jadi ingat banyak waktuku yang terbuang percuma hanya untuk melakukan sesuatu yang tak penting. Berapa banyak kita yang menghabiskan waktu setiap hari untuk hal-hal sepele yang seringkali tak penting itu ? main game, chating, fesbukan, shopping tak kenal waktu ? hangin’ out dengan teman-teman dan menghabiskan berlembar-lembar ratusan ribu hanya dalam waktu sekejap ? Sementara, Ajeng dan ibunya harus berjuang untuk mengumpulkan setiap rupiah yang mereka terima yang bahkan terkadang tak cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan paling dasar mereka. Betapa tak berartinya selembar uang ribuan lusuh yang ada pada kita sementara mereka meraihnya dengan penuh syukur.

Aku jadi teringat anak-anakku dan betapa beruntungnya mereka. Masih punya rumah untuk berlindung, punya pakaian bersih, mainan yang cukup, makanan yang sehat dan bergizi (meski tak selalu mewah), punya kakek, nenek, serta saudara-saudara yang mengasihi dan memanjakan mereka.

Berapa banyak anak-anak lain seperti Ajeng ?

Maka, nikmat Tuhan yang mana lagi yang kita dustakan ?

Tuhan, Maafkan aku.....


pecanduhujan

No comments:

Post a Comment