Tuesday, March 15, 2011
Isti Ingin Sekolah
Gadis itu berdiri di tepian sungai. Waktu seolah menghanyut lewat deras arus. Barangkali alam bawah sadar gadis itu tengah memahami alasan kenapa dirinya berdiri memandang arus masa depan yang membentuk sketsa buram. Barangkali juga ia tak memikirkan apa-apa selain menghadirkan kepolosan paras di balik segores senyum simpulnya.
Sini Isti, seorang lelaki menurunkan pundaknya. Lantas gadis yang mengenakan seragam merah putih serta kerudung putih tersebut naik ke pundaknya. Lelaki itu memikulnya menyeberangi Sungai Cikangean yang menjadi pembatas antara Kecamatan Cibalong, Garut, dengan Desa Campakasari. Isti menatap kedua temannya yang juga berada di panggulan. Rasa takut terkena air, takut terjatuh sekaligus seru berkubang dalam satu wajah jujur mereka.
Sesekali air memercik. Mengenai tubuh mereka yang dipanggul. Sepasang tangan Isti memegang erat kepala lelaki tua yang menyeberangkannya. Sesampainya di pinggir sungai, mereka turun dari pundak. Lantas, ia membuka tasnya yang berisi sepasang kaus kaki dan sepatu untuk dikenakan. Begitu juga kedua temannya. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju SDN Karyasari yang jaraknya tersisa sekitar 70 meter lagi.
Sesampainya di halaman sekolah, Isti dan ketiga temannya bergegas. Sebentar lagi Pak Dimun akan memukul lonceng yang digantung di depan kantor dengan palu. Isti cepat-cepat memasang topi dan dasi. Membentuk barisan. Upacara dimulai.
Akhir-akhir ini para siswa dari Desa Simpang sering datang terlambat karena arus Sungai Cikangean meluap. Biasanya butuh waktu sekitar seminggu air di sungai itu surut. Andai saja ada jembatan yang menghubungkannya, pastilah Isti tak perlu lagi repot seperti ini.
Sebulan yang lalu, Isti dan teman-temannya tidak terlalu kuatir arus sungai mebludak. Penduduk sekitar patungan untuk membeli perahu. Karena tak ada yang merawat dan air tiba-tiba naik pasang, maka perahu hanyut. Walaupun sudah diberi tali. Kini warga desa enggan untuk membeli lagi.
Isti menyukai bagian upacara bendera ketika mengheningkan cipta. Itu lagu favoritnya. Salah satu temannya yang duduk di belakang memanggil namanya sambil menjawil pundaknya.
***
Isti menoleh ke belakang. Seorang temannya sambil mencincing mukena berlari kearahnya. Di tangannya ada beberapa buku dan Al-Quran. Selepas mengaji, biasanya mereka belajar kelompok di surau.
Sepulang dari Surau, biasanya Isti langsung ke dapur. Mencicipi beberapa Burayot yang dibuat oleh orang tua dan saudara-saudaranya. Makanan khas Garut yang terbuat dari gula merah dan tepung beras itu sangat disukai Isti.
Membuat burayot adalah satu-satunya pencaharian orang tuanya. Suatu kali, Isti pernah mendengar keluhan ibunya tentang susahnya penjualan burayot. Saat itu, Isti tak peduli. Ia lebih menikmati legit burayot sambil sesekali menirukan lagu dangdut yang keluar dari radio tua.
Isti mengulangi pelajaran yang seharian tadi diperolehnya. Juga mengulangi lagi apa yang tadi dibahas bersama beberapa temannya di surau. Ia mencatat pelajarannya dengan pensil yang tinggal sepanjang jari manis. Di ujungnya terdapat tiga karet yang dililit. Untuk menghapus. Ia dulu punya penghapus, tapi entah kemana hilangnya.
Suatu hari ia melihat penghapus itu dibawa oleh Ruli, teman sekelasnya. Ia enggan memintanya karena kasihan. Ibunya meninggal saat bekerja di luar negeri, katanya jatuh di kamar mandi. Tak lama kemudian, bapaknya meninggal. Apalah arti penghapus itu, begitu pikirnya. Ia masih beruntung memiliki orang tua.
Malam sudah terlalu larut. Malam ini ia punya banyak tugas dari sekolah. Bu Guru menyuruhnya membuat pantun jenaka. Ia mencari-cari dan membuka buku paket yang dipinjami dari sekolah. Ia senang membuka buku itu karena sudah banyak coretan di dalamnya. Ada gambar-gambar yang ditinggalkan oleh pemakai terdahulunya.
Lantas, ia sudah selesai mengerjakan soalnya. Saat ia hendak tidur, ia musti mengambil air wudlu. Ia teringat guru ngajinya yang sering memberinya nasihat agar berwudlu sebelum tidur.
. Namun, saat ia menuju dapur, langkahnya terhenti. Ia mendengar ibu dan kakaknya membicarakan dirinya. Mereka sepertinya sudah tak mampu membiayai lagi sekolah dirinya. Isti kembali ke kamarnya.
Tiba-tiba dirinya bermimpi tengah memakai seragam sekolah. Ia datang terlambat saat teman-temannya di dalam mobil baru saja meninggalkan halaman sekolah. Isti mengejar sambil berteriak. Tapi percuma, mobil itu sudah hilang ditelan tikungan jalan. Air matanya hendak keluar. Ia musti berlari mengejar ketertinggalannya.
***
Air matanya hendak keluar. Ia musti berlari mengejar ketertinggalannya. Pagi ini ia bangun terlambat karena tadi malam ia terlalu larut untuk tidur. Ia juga masih memikirkan mimpinya semalam sambil mencar-cari orang di sekitar sungai untuk menyeberangkannya. Ia tak menemukan siapa-siapa.
Sungai Cikangean masih meluap. Ia takut menyeberang sendiri. Tetapi, jika ia tidak segera beranjak, ia akan sangat terlambat. Tidak ada pilihan lagi untuk segera menjeburkan diri dan menyeberangi sungai tersebut sendirian.
Ia memasukkan seluruh pakaiannya ke dalam tas. Agar tasnya bisa memuat sepatu dan baju, ia memilih mengeluarkan beberapa bukunya. Dengan gemetar ia mencelupkan telapak kakinya ke arus sungai. Ia membawa tas di tangan kanannya, dan beberapa buku di tangan kirinya.
Arus Cikangean itu hampir saja menyeret tubuhnya. Beberapa kali kakinya mencoba menahan tubuhnya. Permukaan air yang setinggi pundaknya itu, membuatnya menggigil. Saat di tengah, arus makin terasa kuat. Tanpa disadarinya, ada reranting yang menyangkut di kaki dan tubuhnya. Makin lama makin menumpuk.
Isti terhuyung. Kakinya kehilangan keseimbangan. Buku-buku di tangannya jatuh. Ia sempat meraih tas dan sebuah buku. Dua buku lainnya terbawa arus. Isti tak sanggup mengejarnya. Ia telah sampai di seberang sungai dengan buku dan tasnya yang basah.
Gadis itu terdiam di tepi sungai. Ia melihat ke depan, ke arah sekolahnya. Lantas, ia memilih duduk dengan tubuhnya yang basah. Ia menggigil dingin. Air matanya terasa hangat keluar dari pelipisnya. Sementara arus Cinkangean itu mengalir terus.
link
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment